Ad Code

Kejarlah DKU, DKU Kulahap!


JUDUL
di atas adalah hasil plesetan dari judul film masa dulu, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap” menjadi “Kejarlah DKU, DKU Kulahap!”. Ini karena kebingungan saya untuk bisa memenuhi permintaan Mbak Rosidah (selanjutnya saya panggil Mbak RSD saja), orang nomor satu di Donat Kampoeng Utami (DKU) Jombang, untuk menulis seputar donat produk DKU.

Betapa tidak bingung, selama ini yang namanya penganan atau kudapan donat itu tidak begitu “familiar” dengan lidah saya. Bahkan produk DKU sendiri sepertinya saya belum pernah menikmatinya, kecuali “menikmati” blognya yang sangat “menyiksa” lidah saya dan menguras air liur itu. Sejak kecil lidah saya lebih akrab dengan kudapan ndeso seperti pisang rebus, singkong rebus, ketela rebus ataupun ganyong rebus. Semuanya serba rebus, karena kalau digoreng jelas ibu saya tak mampu membeli minyak goreng.

Disamping makanan yang serba rebus itu, saya juga lebih akrab dengan makanan yang selama ini tercitrakan sebagai makanan ndeso lainnya seperti Nagasari (rice-flour cake stuffed with banana bits and steamed in banana leaves), Getuk (sweet steamed loaf of pounded cassava), Mendut (cake made of sticky rice with grated coconut and brown sugar wrapped in banana leaves), Lemper (snack made of steamed glutinous rice with meat or other stuffing and wrapped in a bananas leaf), Wajik (cake made of sticky rice and palm sugar, cut in rhomboid shapes), Gatot (sliced dried cassava boiled with coconut milk), Tiwul (snack made from dried cassava), Jemblem (confection of fried cassava), Kucur (fried cake of rice flour), Onde-onde (round fried cake made of rice flour filled with sweetened ground mung beans sprinkled with sesame seeds). Jadi intinya, pengetahuan saya tentang donat mirip lingkaran donat, NOL BESAR!


Namun begitu, setidaknya dulu di Bogor saya pernah menikmati donat yang banyak dijual oleh penjual keliling yang sering ngetem di tempat saya belajar mencangkul. Paling sering saya menikmati di halaman depan perpustakaan LSI sambil diskusi “aneh-aneh” dengan kawan-kawan post graduated student. Ukuran donatnya cukup besar dengan aneka rasa dan “aksesoris” seperti meses coklat, meses yang berwarna-warni, coklat yang dilaburkan, parutan keju, kepingan kacang mete, dan pasta atau krim strowberi. Semuanya dijual dalam kondisi fresh dalam wadah atau kotak bertingkat dari bahan aluminium. Saya tidak terlalu memperhatikan brand donat itu. Tetapi beberapa waktu yang lalu saya baru tahu dari acara kuliner di salah satu stasiun televisi swasta kalau donat-donat yang dijual di kampus tempat saya belajar “mencangkul” itu dibuat oleh pengusaha-pengusaha kecil dan menengah di Bogor. Harganya ketika itu Rp. 1000,- per buah dengan ukuran cukup besar (seukuran jempol dan jari telunjuk tangan kanan dan kiri orang dewasa dikaitkan melingkar sedemikian rupa) dan tampilannya benar-benar mengundang selera dan mampu menumpahkan air liur saya. Menghabiskan 2 buah cukup untuk mengganjal perut anak kost seperti saya.


Di dalam bus jurusan Bogor-Jakarta atau Bogor-Bandung, saya juga sering menjumpai donat-donat dijajakan dalam kemasan kotak karton yang sangat menarik. Satu kotak biasanya berisi 6 donat dengan rasa yang berbeda-beda pula. Dulu satu kotak itu dijual seharga Rp. 5000,- dengan ukuran yang tak jauh beda dengan yang dijual eceran. Kemasan donat-donat ini tak kalah jauh dengan donat-donat yang diproduksi oleh Dunkin’s Donut, Twin’s Donut ataupun JCO Donut yang gerai-gerainya banyak tersebar di pusat-pusat perbelanjaan kota-kota besar. Donat-donat yang terakhir ini sering saya dengar dan lihat tetapi nyaris tak pernah saya beli!


Dan tentang donat dari DKU? Sekali lagi saya tak mempunyai referensi yang memadai tentang produk ini. Disamping itu, apalah artinya saya, pencangkul ndesit (sangat ndeso) yang tak punya kedudukan, kekuasaan dan kemampuan ngerek bendera DKU agar lebih berkibar. Tetapi karena ini tulisan “permintaan” dari Mbak RSD yang salah satu obsesinya adalah menjadikan produk DKU-nya mampu menjadi salah satu makanan khas Jombang, maka dengan segala “kemiskinan” referensi, saya akan menuliskan ala kadarnya saja. Mohon dimaklumi Mbak!

Kehadiran DKU, seperti kata Mbak RSD bahwa DKU merupakan industri kecil menengah atau usaha kecil menengah (IKM-UKM), jelas mempunyai efek multiplier yang tidak kecil, baik sosial maupun ekonomi. Tidak hanya Mbak RSD saja yang diuntungkan secara langsung, tetapi juga mungkin tenaga-tenaga yang berkarya membantu langsung ataupun tidak langsung. Bisa saja itu tenaga kerja yang bekerja di bawah kendali langsung Mbak RSD ataupun penyuplai bahan baku, juga para distributornya (kalau ada). Dengan demikian, kehadiran DKU sangat membantu penyerapan tenaga kerja. Bukankah dalam ajaran-ajaran suci orang yang mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang lain akan memperoleh pahala yang besar dan berlipat-lipat?

Dan selanjutnya, salah satu syarat sebuah produk dikatakan khas setidaknya harus memiliki kelebihan atau pembeda dibandingkan dengan produk yang sejenis atau diffirential advantage. Kelebihan-kelebihan ini bisa saja dari segi taste, branded, packaging, price, dan sebagainya. Dan, mungkin salah satu kelebihan dari DKU yang sangat mencolok, seperti yang diungkapkan Mbak RSD sendiri, adalah dari branded atau labelnya, Donat Kampoeng Utami. Ya, kata “kampoeng” inilah yang mungkin mudah diingat dan “ngangeni”. Dan sebagai jaminan serta untuk meyakinkan konsumen, meskipun memakai label “kampoeng”, namun bukan berarti rasanya kampungan. Bukan begitu Mbak RSD?

Kemudian price-nya. Dengan harga yang ditawarkan Mbak RSD Rp. 500,- saya pikir ini adalah pembeda tersendiri. Saat ini jarang saya temui harga donat dengan “kualitas jelas” seharga Rp. 500,-. Ada sih sebenarnya harga donat Rp. 1000,-per 3 buah yang biasanya dijual di pasar-pasar “becek” namun dengan “kualitas tak jelas” dan sangat “becek” pula. Sekali lagi, produk DKU yang “berkualitas jelas” dan tidak “becek” seharga Rp. 500,- adalah keunggulan tersendiri dari produk ini. Apalagi DKU sendiri menyadari kondisi ekonomi masyarakat Jombang yang “adem ayem” (Mbak RSD jelas nyindir saya!) dan salah satu segmen yang menjadi bidikan adalah kaum menengah ke bawah, tentu harga Rp. 500,- sangat layak.

Sementara soal packaging atau bahkan promosinya, terutama pemanfaatan kemajuan IT (baca: internet khususnya blog) saya kira Mbak RSD lebih tahu. Jadi tak perlulah saya tulis di sini, apalagi soal taste-nya (sekali lagi, saya belum pernah melakukan “riset rasa” atau menikmati produk DKU!).

Mungkin harapan saya (kalau boleh berharap kepada DKU), DKU akan menjadi lebih dan sangat unik lagi jika mampu memberdayakan potensi lokal, setidaknya potensi Jombang sendiri. Seperti kata Mbak RSD, bahwa bahan dasar donat adalah tepung terigu (olahan gandum) dan kentang. Selama ini yang namanya gandum itu kita masih mengimpor. Kita tidak bisa memproduksinya sendiri, karena disamping secara geografis kurang cocok dengan tanaman gandum, teknologi pertanian ataupun rekayasa genetika belum memungkinkan menanam gandum dengan perolehan produksi yang optimal.

Harapan saya selanjutnya, bisakah DKU melakukan perubahan dengan mengubah bahan dasar atau setidaknya ada kombinasi dengan bahan dasar lokal, semisal memakai tepung ketela yang banyak diproduksi oleh para petani Jombang yang tentunya tanpa mengubah kualitas rasanya? Ya, seperti Bakpao atau Ice Cream di Malang dan Bali yang sangat terkenal karena penggunaan bahan dasar dari ubi jalar ungu itu. Disamping membantu penyerapan sekaligus meningkatkan price dan prestice produk petani yang selama ini sering tak dihargai, juga membantu program diversifikasi pangan yang selama ini terbengkalai. Dan yang jelas, juga akan membantu meringankan beban neraca pembayaran internasional (jauh amat!). Mungkin awalnya ini akan menyulitkan, tetapi saya yakin suatu saat Mbak RSD akan mampu mengombinasikannya. Toh, teknologi pengolahan pangan sekarang sudah cukup maju, meskipun belum merata dan dapat diakses oleh semua orang.

Dengan demikian, dapat dipastikan produk-produk DKU akan menjadi lebih unik dan khas. Bendera DKU pun akan semakin berkibar dengan keunikan dan kekhasannya itu. Dan suatu saat nanti, DKU akan menciptakan image baru bahwa semua orang yang berkunjung ke Jombang, belum merasa ke Jombang kalau belum menikmati Donat Kampoeng Utami. Sukses selalu Mbak RSD, maju tak gentar, melayani yang bayar!

Posting Komentar

3 Komentar

  1. Wahh... saya malah kangen ama makanan kayak kucur, onde-onde... hihi.. Kebetulan tante saya jg jualan kue di Jombang, jadi dah mesen duluan pengin kucur hehehe...

    Tinggalnya di Wonosalam ya?

    BalasHapus
  2. wah...ganyong, isih enek ora yo? wis suwe ra mangan.

    BalasHapus
  3. di jakarta sudah ada donat kentang. yang belum ada sama sekali: donat sayur.( donat yang bahan dasarnya dicampur sayuran macam bayam dkk).

    nanti mau jualan itu, apalagi dengan mengusung isu lebih sehat, bisa untuk diet ... pasti deh laris hehe

    BalasHapus

Thanks for your visiting and comments!

Ad Code