
Di sebelah timur, tampak gundukan Pulau Besar dan tampak pula samar-samar Pulau Babi yang ketika gempa dan tsunami tahun 1992 lalu luluh lantak, dan saat ini tak menyisakan penghuni. Pun demikian, puncak Egon yang akhir-akhir ini menunjukkan aktivitasnya, bahkan beberapa waktu lalu memuntahkan isinya, tampak berkilau keperak-perakan dengan kepulan asap yang tak henti-hentinya, seperti loko kereta api ekonomi jurusan Jombang-Jakarta yang sering kutumpangi dulu.

Laut dan langit! Aku jadi teringat sebuah cerita yang entah dari mana sumbernya. Sebuah cerita tentang langit dan laut yang saling jatuh cinta dan sama-sama menyintai. Saking cintanya laut terhadap langit, warna laut hampir selalu sama dengan warna langit, dan kebalikannya saking cintanya langit terhadap laut, warna langit hampir sama dengan laut.
Setiap fajar datang atau senja menjelang, laut dengan lembut sekali membisikkan kata-kata cinta kepada langit. Setiap langit mendengar bisikan cinta dari laut, langit selalu membisu dan tersipu-sipu malu hingga rona wajahnya semburat kemerahan. Hingga sekarang, kisah kasih antara langit dan laut tidak terpisahkan. Ya, hanya sesekali saja datang awan menggangu kemesraan laut dan langit, tapi itu tak lama karena angin juga tak terima dan kemudian membela laut dan langit dengan menghempaskan awan. Langit pun kembali berwajah cerah sumringah, laut teduh, tak bergelombang dan tentu saja tak lagi gundah.

Aku terus menyusuri tepian teluk ini. Di kejauhan, tampak hiruk-pikuk aktivitas pelabuhan Maumere dan sepertinya ada kapal besar yang baru saja berlayar menuju Surabaya. Biasanya dua kali kapal besar rute Maumere-Surabaya bersandar di pelabuhan itu. Dua hari lagi mungkin kapal itu akan sampai di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Aku tak tahu sebab belum pernah sekalipun melakukan perjalanan laut yang jauh.
Menyaksikan kapal itu, semakin mengingatkanku pada kampung halaman. Menonjok-nonjok rasa rinduku pada kabut pagi yang senantiasa menghiasi kampungku, pada kicau kutilang yang setiap pagi berjumpalitan di pucuk-pucuk pohon cengkeh, rinduku pada hijaunya dedaunan dan aroma khas bunga-bunga cengkeh, pada Bapak yang meskipun tak muda lagi tetapi masih tekun mencangkul di ladang. Katanya, badannya akan terasa sakit kalau sehari tak ke kebun, meskipun ke kebun sekadar babat-babat rumput. Tanpa kusadari dendang Ebiet G. Ade muncrat dari kedalaman memoriku:
di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
benturan dan hempasan terpahat di keningmu
kau nampak tua dan lelah keringat mengucur deras
namun kau tetap tabah
meski nafasmu kadang tersengal
memikul beban yang semakin sarat
kau tetap bertahan
........................
benturan dan hempasan terpahat di keningmu
kau nampak tua dan lelah keringat mengucur deras
namun kau tetap tabah
meski nafasmu kadang tersengal
memikul beban yang semakin sarat
kau tetap bertahan
........................
”Kau tetap tabah dan bertahan!” Ya, Bapak memang tetap tabah dan bertahan dengan profesinya. Profesi yang telah digeluti selama puluhan tahun. Profesi yang aku yakin karena awalnya sebuah keterpaksaan, terpaksa menjadi petani dengan cap gurem yang seringkali tersia-siakan, meskipun seringkali menjadi bahan diskusi dan pedebatan panjang kaum akademis maupun pengelana politik. Dulu di kelas akupun sering berdiskusi tentang profesi ini dengan kawan-kawan dan pengajar, dan seringkali aku hampir mbrebes mili di tengah-tengah diskusi bila teringat Bapak di kampung. Begitu juga, aku sangat gundah dan kepala terasa mau pecah bila harus mengunyah berbagai literatur tentang the economics of agricultural development. Dalam literatur-literatur seperti ini, orang-orang semacam Bapak yang jumlahnya jutaan di negeri agraris ini, tetap saja terposisikan dan terkondisikan be subsistence farmer with risk aversion, uncertainty, and survival. Tetapi sekali lagi, karena kesetiaannya itu Bapak masih bertahan di ladang.

Pukul 17.30 WITA angin berhembus tidak terlalu kencang. Matahari pun masih tampak bulat sempurna di barat. Sinarnya tak terlalu menyengat. Anak-anak pun masih asyik bermain-main di tepian teluk ini. Ada yang bermain-main di atas perahu jukung yang ”diparkir” para nelayan, ada yang berenang-renang kesana-kemari dan bermain-main dengan percikan air laut. Aku tak ingin kehilangan momentum ini, dengan kamera ukuran saku yang sudah cukup uzur ini aku mencoba untuk mengabadikannya.

Jarum jam terus merayap mendekati titik 18.00 WITA, gelap perlahan menyergap dan mendekap Teluk Maumere. Matahari baru saja amblas di balik perbukitan, memasuki singgasananya, meninggalkan semburat merah keemasan di langit barat. Kapal-kapal nelayan perlahan mulai meninggalkan pantai. Lampu-lampu dari resto-resto kecil di dekat dermaga, yang hampir 95 persen pemiliknya perantau dari Jawa Timur, mulai dinyalakan. Dari kejauhan seruan adzan berkumandang mengundang. Aku terus berjalan, menenggelamkan segala kelam dalam malam!
6 Komentar
PERTAMAXXXXXX,
BalasHapusbut tetep komen
picnya bagus pak.
dah itu aja komennya.
nah, gini bagus nih...
BalasHapusbanyak fotonya. jadi kita yang baca bisa bayangin juga, gimana rasanya melihat sunset di teluk meumere. indah sekali yaaa.....
wow panjang amat penulisannya capek gw baca..heheh...
BalasHapussalam kenal ya dari Malaysia.
senja seperti itu yang selalu ingin aku nikmati..
BalasHapusanak..anak..nelayan..sambil menjijing keranjang..*pengamen lewat,hi..hi..*
BalasHapuskalo pengamen lewat itu saya MBAK (gadis rantau) yang lagi nyari recehan dollar :)
BalasHapusbek topic : nelayan nyari ikan di laut, aku nyari duit di blog wkkkk
Thanks for your visiting and comments!