Ad Code

Di Bawah Naungan Pohon Cengkeh


CENGKEH! 
Begitulah nama pohon yang mayoritas tumbuh di kampung halaman saya. Pohon-pohon yang begitu akrab dengan diri saya, yang tumbuh mengiringi pertumbuhan saya, yang sebagian besar usianya lebih tua dari usia saya. Betapa tidak, pohon ini dibudidayakan serentak setelah pada pertengahan tahun 1970-an banyak pendatang yang “menguasai” lahan-lahan di kampung halaman.

Mereka beragam profesi dan suku. Ada yang pejabat dan bekas pejabat, tuan tanah dan beberapa memang petani cengkeh murni. Ada yang datang dari Ambon, Manado, Sumatera Utara, dan Flores. Setidaknya itu yang saya ketahui dan menjadi tetangga baru di kampung. Sementara itu benih dan bibit cengkeh di datangkan dari Maluku dan Trenggalek yang selama itu dikenal sebagai kawasan penghasil cengkeh.

Disamping banyak pekebun besar yang memiliki pohon cengkeh dengan jumlah yang tetntu tak sedikit, hampir semua rumah tangga di kampung juga mempunyai pohon-pohon yang ditanam baik di kebun maupun di sekitar rumah. Bisa dikata bahwa pohon cengkeh adalah bagian kehidupan masyarakat di kampung saya. Saya sendiri sejak kecil begitu karib dengan tanaman ini. Bermain-main di kebun cengkeh, terbiasa tertidur di bawah naungan pohon cengkeh yang rindang, bermain-main dengan memanjat, bahkan diajarkan orang tua bagaimana cara memetik bunga-bunga cengkeh dengan baik dan benar. Memetik bunga cengkeh memang memerlukan “keahlian” khusus agar tidak merusak tanaman dan menjaga kesehatan pucuk-pucuknya agar pada musim berikutnya tetap bisa berbunga. Demikian juga di musim kemarau, saya harus menyirami pohon-pohon cengkeh dengan kucuran air agar tanaman tetap segar. Di bawah naungan pohon cengkeh pula saya seringkali memanen buah ciplukan yang tumbuh subur di bawahnya ketika musim penghujan. Lainnya,  ada banyak cerita kehidupan dari naungan pohon cengkeh ini. Ada banyak pelajaran hidup. Ada pahit-manis kehidupan yang tercipta dari pohon-pohon cengkeh.

Bunga Cengkeh

Saya juga terbiasa memanfaatkan bunga-bunga cengkeh sebagai obat jika sakit gigi, sakit kepala ataupun terkilir karena kandungan minyaknya yang berkhasiat sebagai pereda nyeri dan rasa sakit. Demikian juga dengan aromanya yang sangat khas dan berkhasiat untuk melegakan hidung tersumbat. Tentang aroma cengkeh, saya jadi teringat sekitar sepuluh tahun lalu, seorang kawan kost di kawasan Lingkar Kampus Dramaga Bogor, yang saya tanya apakah di sini ada pohon cengkeh, karena saya mencium aroma cengkeh. Kawan saya itu pun menjawab bahwa di sekitar kost memang ada juragan/pembeli cengkeh yang biasa menjemur bunga-bunga cengkeh, yang jaraknya lebih dari 50 meter dari tempat kost. Kawan saya pun sedikit heran dengan kemampuan indera saya mencium aroma cengkeh yang dijemur dan berjarak lebih dari 50 meter.

Keberadaan pohon-pohon cengkeh pun secara signifikan mendukung perekonomian di kampung. Bukan saja hasilnya secara langsung (panen), tetapi serapan tenaga kerja dari masyarakat sangat tinggi. Meski perkebunan besar hanya dimiliki oleh para pendatang, tetapi efek ekonomi tetap bisa dinikmati masyarakat luas, termasuk yang tak punya kebun cengkeh. Pun demikian, sejak tahun 1995 banyak berdiri industri penyulingan daun, tangkai dan putik bunga cengkeh untuk didestilasi dan diambil minyaknya. Industri ini banyak sekali menyerap tenaga kerja, dari mulai pengumpul daun, transportasi, kuli angkut, sampai pekerja di tempat penyulingan.

Proses Petik Cengkeh (Dok. Pribadi. Mei 1987)

Harga cengkeh pernah melangit di akhir tahun 80-an sampai awal tahun 1990-an sebelum malapetaka datang dengan kehadiran Badan Penyanggah dan Pembelian Cengkeh (BPPC) yang memonopoli pembelian sekaligus penjualannya ke pabrik rokok. Saya mengganggap bahwa kehadiran BPPC tak ubahnya VOC di jaman kolonial yang mencengkeram dan merampas hak-hak petani cengkeh. Untuk menjual hasil produksi sendiri saja petani kesulitan bahkan dihadang oleh aparat keamanan (polisi). Petani harus menjual ke KUD yang ditunjuk dengan harga yang jauh dari ketentuan.

Peristiwa dan tragedi ini pula yang mengubah orientasi sekolah saya selepas SLTP pada tahun 1993. Berhubung kemampuan orang tua yang kurang memadai untuk dukungan pembiayaan akibat imbas BPPC, mau tak mau saya harus memilih sekolah yang setidaknya berbiaya murah dan kalau bisa mau membayar saya. Sesuatu yang sebenarnya mustahil, karena kemampuan akademik yang saya milikipun pas-pasan jika digunakan untuk mencari beasiswa. Yang jelas, selama BPPC bercokol dan mencengkeram, untuk bisa sekolah, saya tetap memegang prinsip itu, dan syukur rizki finansial tetap saya dapatkan ketika SLTA, meski tak penuh. Kondisi seperti itu belum juga berubah ketika mejelang berakhirnya belajar di tingkat SLTA. Hal ini memaksa saya untuk mengabaikan PMDK jaman itu dari beberapa PTN, karena saya merasa tak ada dukungan finansial. Memaksa saya menunda belajar di tempat formal, memaksa saya "asal sekolah" dimana saja institusinya yang terpenting terjangkau, meski kadang tak sesuai pilihan awal. Sekali lagi di perguruan tinggi, saya tetap “belajar mencangkul” dengan prinsip asal murah dan kalau bisa dibayar. Dan menariknya, akibat BPPC pula saya sering terlibat diskusi intens dan sengit dengan “guru mencangkul” saya yang seringkali menjelaskan “kemuliaan” keberadaan BPPC dengan kurva supply-demand. Sementara saya sendiri tak banyak menjelaskan, hanya menunjukkan data-data dan kenyataan serta "rasa pahit" akibat kehadiran BPPC.

Kabar gembiranya, ketika gonjang-ganjing reformasi terjadi, seiring itu pula BPPC dihapuskan dan diberangus dari muka bumi Indonesia. Harga cengkeh pun kembali membaik. Petani-petani di kampung kembali bergairah merawat pohon-pohon cengkeh yang dimilikinya. Puncaknya di tahun 2001-2002 jumlah produksi luar biasa meningkat dengan harga yang melangit. Dampaknya bukan hanya ekonomi warga yang membaik, tetapi penjarahan juga terjadi. Para petani di kampung pun ketika itu terpaksa membuat Pasukan Keamanan Cengkeh (Paskenceng) dan “menyewa” aparat kepolisian untuk menjaga kebun-kebun cengkeh. Dana pengamanan diambilkan dari iuran pemilik kebun-kebun besar dan warga yang memiliki pohon cengkeh dengan besaran sesuai kesepakatan bersama. Pada masa itu pula, seorang aparat polisi yang bertugas hilang dan sampai saat ini belum ditemukan jejaknya.

Selanjutnya, pada tahun 2003 sampai 2008 harga cengkeh kembali stabil dan tak terlalu tinggi, tapi juga tidak “menyiksa” petani. Sayangnya sekitar 4 tahun terakhir atau sejak tahun 2009,  pohon-pohon cengkeh terserang penyakit “misterius”, sehingga menimbulkan kamatian pada pohon-pohon cengkeh. Produktivitas pun menurun drastis. Mungkin tahun ini (2013) produksinya tak lebih dari 20 % dari kemampuan produksi di masa normal. Saya sendiri terus mencari berbagai informasi apa gerangan penyakit yang menimpa. Beberapa dugaan yang menimpa pohon-pohon cengkeh di kampung halaman sudah saya tuliskan di postingan sebelumnya. Misalnya Robohnya Pohon Cengkeh Di Kampung Kami dan Mungkinkah Bakteri Mematikan Ini yang Menyerang Kawasan Wonosalam?

Meskipun tentang pohon cengkeh saya sedikit memahami termasuk beberapa hama dan penyakit yang biasa menyerang, tetapi untuk penyakit ini, saya tak paham sama sekali. Bahkan petugas penyuluh pertanian pun tak mengerti. Dan selama ini pula belum ada tindakan dari instansi terkait. Andai saja saya mengerti, atau setidaknya dekat dengan laboratorium hama penyakit dan tanaman, mungkin saya akan membawa sample-nya untuk di analisis. Ya, setidaknya saya bisa membantu para petani di kampung, menahan pohon-pohon cengkeh untuk tetap kokoh membentengi perekonomian warga kampung dan tetap menjadi saksi masa-masa pertumbuhan saya selama ini. Bagi saya  pohon cengkeh tak sekadar pohon yang bernilai fisik-biologi, atau ekonomi, tetapi juga ada nilai kultural dan historis yang tercipta.

Tentang pohon cengkeh, ada banyak literatur yang mengulasnya, baik sifat fisik-biologinya, maupun kesejarahannya. Seperti yang tertuang dalam wikipedia.com, cengkeh (Syzygium aromaticum, syn. Eugenia aromaticum), dalam bahasa Inggris disebut cloves, adalah tangkai bunga kering beraroma dari keluarga pohon Myrtaceae. Cengkeh adalah tanaman asli Indonesia, banyak digunakan sebagai bumbu masakan pedas di negara-negara Eropa, dan sebagai bahan utama rokok kretek khas Indonesia. Cengkeh ditanam terutama di Indonesia dan Madagaskar; selain itu juga dibudidayakan di Zanzibar, India, dan Sri Lanka.

Pohon cengkeh merupakan tanaman tahunan yang dapat tumbuh dengan tinggi 10-20 m, mempunyai daun berbentuk lonjong yang berbunga pada pucuk-pucuknya. Tangkai buah pada awalnya berwarna hijau, dan berwarna merah jika bunga sudah mekar. Cengkeh akan dipanen jika sudah mencapai panjang 1,5-2 cm.

Cengkeh dapat digunakan sebagai bumbu, baik dalam bentuknya yang utuh atau sebagai bubuk. Bumbu ini digunakan di Eropa dan Asia. Terutama di Indonesia, cengkeh digunakan sebagai bahan rokok kretek. Cengkeh juga digunakan sebagai bahan dupa di Republik Rakyat Cina dan Jepang. Minyak cengkeh digunakan di aromaterapi dan juga untuk mengobati sakit gigi. Daun cengkeh kering yang ditumbuk halus dapat digunakan sebagai pestisida nabati dan efektif untuk mengendalikan penyakit busuk batang Fusarium dengan memberikan 50-100 gram daun cengkeh kering per tanaman.

Pada abad yang keempat, pemimpin Dinasti Han dari Tiongkok memerintahkan setiap orang yang mendekatinya untuk sebelumnya menguyah cengkeh, agar harumlah napasnya. Cengkeh, pala dan merica sangatlah mahal di zaman Romawi. Cengkeh menjadi bahan tukar menukar oleh bangsa Arab di abad pertengahan. Pada akhir abad ke-15, orang Portugis mengambil alih jalan tukar menukar di Laut India. Bersama itu diambil alih juga perdagangan cengkeh dengan perjanjian Tordesillas dengan Spanyol, selain itu juga dengan perjanjian dengan sultan Ternate. Orang Portugis membawa banyak cengkeh yang mereka peroleh dari kepulauan Maluku ke Eropa. Pada saat itu harga 1 kg cengkeh sama dengan harga 7 gram emas.

Perdagangan cengkeh akhirnya didominasi oleh orang Belanda pada abad ke-17. Dengan susah payah orang Prancis berhasil membudayakan pohon cengkeh di Mauritius pada tahun 1770. Akhirnya cengkeh dibudayakan di Guyana, Brasilia dan Zanzibar.

Pada abad ke-17 dan ke-18 di Inggris harga cengkeh sama dengan harga emas karena tingginya biaya impor. Sebab cengkeh disana dijadikan salah satu bahan makanan yang sangat berkhasiat bagi warga dan sekitarnya yang mengonsumsi tanaman cengkeh tersebut. Sampai sekarang cengkeh menjadi salah satu bahan yang diekspor ke luar negeri.

Pohon cengkeh yang dianggap tertua yang masih hidup terdapat di Kelurahan Tongole, Kecamatan Ternate Tengah, sekitar 6 km dari pusat kota Ternate. Poho yang disebut sebagai Cengkeh Afo ini berumur 416 tahun, tinggi 36,60 m, berdiameter 198 m, dan keliling batang 4,26 m. Setiap tahunnya ia mampu menghasilkan sekitar 400 kg bunga cengkeh.

Minyak esensial dari cengkeh mempunyai fungsi anestetik dan antimikrobial. Minyak cengkeh sering digunakan untuk menghilangkan bau napas dan untuk menghilangkan sakit gigi. Zat yang terkandung dalam cengkeh yang bernama eugenol, digunakan dokter gigi untuk menenangkan saraf gigi. Minyak cengkeh juga digunakan dalam campuran tradisional chōjiyu (1% minyak cengkih dalam minyak mineral. Kata "chōji" berarti cengkeh. Kata "yu" berarti minyak) dan digunakan oleh orang Jepang untuk merawat permukaan pedang mereka.

Artikel terkait:
Inilah Cara Mengobati Tanaman Cengkeh yang Terserang Penyakit BPKC

Posting Komentar

10 Komentar

  1. saya suka judul blog n deskripsinya hahaha

    BalasHapus
  2. kreatif!. dahulunya jg kakek saya punya pohon cengkeh. tp sekarang, sudah tidak dan bahkan jarang sekali di jumpain. hanya di daerah2 tertentu saja.
    pohon cengkeh perlu di lestarikan untuk anak cucu kita

    BalasHapus
  3. Mas Jun bilang kurang memahami cengkeh? Tapi tulisannya lengkap gini. Gimana kalau paham ya? ^_^

    Lama tidak minum kopi sama pencangkul ini. Apa kabar mas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. untuk penyakit yg saat ini menyerang tanaman(hampir habis), saya kurang paham bu, hanya menduga-duga saja, perlu penelitian di lab kayaknya, sayang institusi terkait di sini kayaknya masih bertapa. Saya juga belum nemu orang yg peduli sekaligus ahli Hama dan Penyakit Tanaman (HPT) di sini.

      Kabar baik bu, tapi rasa kopi masih kurang legit dan cenderung pahit :)

      Hapus
  4. Makane ora heran ya mas jika kompeni ampe kerasan lama di negeri kita.. salah satunya naksir dengan cengkeh ini

    sukses GA-nya mas

    BalasHapus
    Balasan
    1. dapat julukan emas hitam, kompeni sampai rela "menambang" berabad-abad. GA-nya asal ramai dan mengikuti "situasi dan kondisi hati" saja mas :)

      Hapus
  5. sukses buat GA nya,,

    cengkeh itu bisa buat bikin rokok kan

    BalasHapus
  6. Nah gini nih yang saya suka. Saya butuh tulisan lebih banyak ttg cengkeh ini😂

    Terimakasih Bang

    BalasHapus

Thanks for your visiting and comments!

Ad Code