Ad Code

Tuna Wismakah Anggota Dewan Kita?

Ilustrasi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat [Sumber: disway.id]

KITA hidup di negeri yang katanya demokratis, di mana wakil rakyat atau anggota dewan, seharusnya menjadi teladan dalam penggunaan anggaran dan dalam menegakkan keadilan sosial. Namun, belakangan muncul keprihatinan serius terkait tunjangan rumah dan berbagai tunjangan lain bagi anggota dewan di tingkat nasional maupun di banyak daerah, termasuk Jombang, tampak semakin membengkak, bahkan terasa ugal-ugaan. Ketika kita bicara atas nama undang-undang, regulasi memang memberi ruang, tapi adakah hati nurani yang mengukur apakah aturan itu dipergunakan dengan etika dan kepedulian?

Di Jombang, data terbaru memperlihatkan realitas yang mengejutkan. Berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup) Jombang Nomor 66 Tahun 2024, sejak awal 2025, tunjangan perumahan bagi Ketua DPRD ditetapkan menjadi Rp 37.945.000 per bulan, Wakil Ketua DPRD sekitar Rp 26.623.000, dan anggota DPRD Rp 18.865.000. Selain itu, tunjangan transportasi dan tunjangan komunikasi intensif ikut naik: tunjangan komunikasi intensif mencapai Rp 14 juta per bulan bagi anggota DPRD Jombang, untuk aktifitas hanya ‘berkomunikasi dengan konstituen’.

Gaji pokok, jika dibandingkan, jauh lebih kecil: sekitar Rp 6,39 juta per bulan untuk seorang anggota, dengan komponen-komponen lain seperti tunjangan keluarga, tunjangan beras, tunjangan khusus yang jumlahnya relatif kecil. 

Ancaman ketimpangan bukan hanya soal angka besar vs angka kecil, melainkan soal prioritas, kepekaan sosial, dan keadilan fiskal. Kita menyaksikan desa-desa jauh di pinggiran, jalanan berlubang, layanan kesehatan yang belum memadai, sekolah yang kekurangan guru atau sarana, sementara wakil rakyat mendapat tunjangan rumah puluhan juta rupiah. Wajar kalau banyak dari kita bertanya, untuk apa semua ini, bila pelayanan publik di tingkat dasar masih menyisakan kekurangan? Apakah agar anggota dewan terlihat “nyaman” secara material, atau agar mereka bisa menjalankan tugas legislatif dengan baik? Keduanya bisa menjadi alasan, tapi apakah proporsinya sudah seimbang?

Aturan undang-undang memang memberikan dasar hukumnya. Misalnya, PP Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD menjadi payung legal bagi pemberian tunjangan-perumahan dan tunjangan administratif lainnya. 

Di sisi lain, dalam Perbup Jombang, diatur bahwa kalau pemerintah belum menyediakan rumah negara dan perlengkapannya bagi pimpinan atau anggota dewan, diberikan tunjangan perumahan. Itu memang aturannya. 

Tapi kita harus bertanya, kapan “atas nama undang-undang” menjadi alasan untuk justifikasi yang kurang manusiawi? Kalau tunjangan dipakai sebagai kompensasi atas kurangnya fasilitas publik, misalnya rumah negara atau perumahan dinas, maka idealnya fungsi pengawasan publik, audit, transparansi harus sangat kuat. “Ugal-ugaan” terjadi kali ini ketika angka-angka tersebut meningkat tanpa disertai komunikasi yang memadai ke publik, tanpa memperlihatkan laporan yang jelas, serta tanpa korelasi dengan kinerja yang bisa diukur oleh rakyat biasa.

Selain itu, ketimpangan antara wakil rakyat dan rakyat biasa makin nyata. Bayangkan: seorang anggota DPRD bisa menerima total tunjangan perumahan + transportasi + komunikasi intensif ke angka puluhan juta rupiah per bulan; sementara seorang guru, petani, atau pekerja harian belum tentu memperoleh penghasilan tetap sebesar itu. Apakah kita akan terus menerima logika bahwa status jabatan otomatis membolehkan kelebihan semacam ini?

Kita bukan anti-tunjangan—kita mendukung bahwa wakil rakyat memiliki sarana yang memadai agar bisa bekerja dengan baik. Tapi kita menolak bahwa tunjangan dijadikan ritual yang memperlebar jurang antara rakyat dan wakilnya.

Jadi, apakah kita pantas menyebutnya tuna wisma? Tidak persis dalam arti literal. Mereka mungkin memiliki tempat tinggal, fasilitas, bahkan kemewahan yang lebih. Tapi dalam makna keadilan sosial dan kedekatan dengan rakyat, dalam makna menjadi teladan, dalam makna memperjuangkan keadilan akses dan pelayanan publik—ya, banyak dari kita merasa ada kekosongan. Anggota dewan kita kadang menjadi simbol ketimpangan dengan mendapatkan tunjangan rumah puluhan juta sementara rakyat rumahnya mungkin bocor atau tidak layak serta menggunakan undang-undang sebagai perisai untuk mempertahankan tunjangan yang diprotes rakyat.

Kita membutuhkan reformasi, mulai dari regulasi agar lebih transparan; mekanisme evaluasi yang melibatkan masyarakat, pembatasan maksimum tunjangan berdasarkan kemampuan keuangan, serta penegasan bahwa “atas nama undang-undang” bukan berarti bebas dari tanggung jawab moral dan sosial.

Kalau kita terus diam, kita akan kehilangan makna wakil rakyat sebagai pelayan, bukan sebagai penerima privilese. Tuna wismakah anggota dewan kita? Kalau pertanyaan itu membangkitkan keprihatinan dalam hati kita, maka sudah saatnya kita bersuara agar wakil rakyat kita tidak hanya hidup layak, tapi juga hidup adil, bertanggung jawab, dan dekat dengan rakyat yang diwakili.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code