Ad Code

Hari Kopi Sedunia dan Panggung Kopi Indonesia

Ceri Kopi Ekselsa Wonosalam [Foto: Dokumen Pribadi]

HARI  ini, 1 Oktober 2025, kita kembali merayakan Hari Kopi Sedunia. Bagi sebagian orang, perayaan ini mungkin hanya sekadar momentum simbolis, tetapi bagi kita yang hidup di negeri penghasil kopi, ia punya makna yang jauh lebih dalam. Kopi bukan hanya minuman yang menemani pagi atau teman begadang, melainkan bagian dari sejarah, budaya, bahkan identitas bangsa.

Kita mungkin tidak menyadarinya, tetapi secangkir kopi yang kita sruput pagi ini membawa jejak panjang perjalanan yang dimulai berabad-abad lalu. Sejarah mencatat, Belanda pertama kali menanam bibit kopi arabika di Nusantara pada 1696. Percobaan pertama memang gagal, tetapi percobaan kedua berhasil melahirkan kejayaan. Kopi dari Hindia Belanda kala itu menembus pasar Eropa, menjadi komoditas yang dibanggakan. Namun, seiring waktu, arabika kita terkena serangan penyakit, hingga robusta mengambil alih dominasi. Dari situlah kisah kopi Indonesia terus bergulir, penuh jatuh bangun, tapi tak pernah benar-benar hilang dari panggung dunia.

Hari ini, Indonesia masih berada di posisi penting: produsen kopi terbesar keempat dunia, dengan produksi mencapai 10,7 juta kantung per tahun menurut USDA. Angka ini tentu bukan sembarangan. Bayangkan, setiap kali seseorang di belahan dunia lain menyesap kopi, ada kemungkinan besar bijinya berasal dari tanah kita. Tetapi, ironisnya, di balik angka besar itu, masih banyak petani kopi kita yang hidup dengan penghasilan pas-pasan, rentan harga yang tidak menentu, dan minim perlindungan.

Inilah sisi reflektif yang seharusnya kita renungkan pada Hari Kopi Sedunia. Kopi sering dipandang sebagai gaya hidup modern, tetapi bagi jutaan keluarga petani di Sumatera, Jawa, Sulawesi, hingga Flores, kopi adalah sumber penghidupan. Tanpa mereka, tidak akan ada kafe estetik, tidak ada latte art, bahkan tidak ada secangkir kopi hitam sederhana di warung pinggir jalan. Kita mungkin menikmati kopi dengan santai, tapi mereka menanamnya dengan peluh dan ketidakpastian.

Namun, mari kita lihat sisi lain yang juga membanggakan. Konsumsi kopi domestik kita meningkat pesat: dari hanya 0,9 kg per kapita satu dekade lalu menjadi 1,8 kg per kapita pada 2023. Artinya, kopi bukan hanya untuk diekspor, tetapi sudah semakin akrab dengan keseharian kita sendiri. Kedai kopi bermunculan di mana-mana, dari kota besar hingga kabupaten kecil. Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya ‘ngopi’ telah bertransformasi, dari sekadar kebiasaan minum di warung ke simbol pertemuan, diskusi, bahkan kreativitas.

Kita bisa melihat bagaimana kopi kini menjadi medium ekspresi. Barista hadir bukan hanya sebagai penyaji, tetapi sebagai seniman rasa. Inovasi pun terus bermunculan: cold brew, kopi susu kekinian, hingga kopi instan siap minum yang merambah supermarket. Ada pula kopi keliling dengan mobil atau motor yang menjangkau konsumen urban yang serba sibuk. Kopi membuktikan dirinya mampu beradaptasi dengan zaman, bahkan menjadi tren.

Namun, kita juga perlu berhati-hati agar euforia budaya ngopi ini tidak melupakan akar permasalahan. Sebab, apa artinya kafe berkelas dengan racikan latte art cantik, jika petaninya masih berjuang dengan harga jual rendah? Apa artinya konsumsi kopi meningkat pesat, jika regenerasi petani kopi tidak berjalan karena anak muda enggan melanjutkan usaha orang tua mereka?

Di titik inilah refleksi kita menjadi penting. Merayakan Hari Kopi Sedunia bukan sekadar mengunggah foto kopi di media sosial dengan tagar #InternationalCoffeeDay. Ia mestinya mengingatkan kita pada tanggung jawab dengan cara mendukung produk lokal, memberi nilai lebih pada kopi Indonesia, dan memperjuangkan kesejahteraan petani. Kita bisa memulainya dengan sederhana—memilih kopi lokal alih-alih impor, menghargai kerja para barista, hingga ikut menyuarakan keadilan harga untuk petani.

Kopi telah mengajarkan banyak hal pada kita. Dari sejarahnya, kita belajar tentang globalisasi sejak awal. Dari petaninya, kita belajar tentang ketekunan. Dari secangkir kopi, kita belajar bahwa rasa pahit pun bisa memberi kenikmatan. Maka, ketika kita menyesap kopi hari ini, semoga ada rasa hormat yang ikut larut di dalamnya—hormat pada sejarah, pada petani, pada budaya, dan pada perjalanan panjang yang membuat kopi Indonesia tetap harum di panggung kopi dunia. Selamat ngopi dan merayakan hari kopi!

Wonosalam, 1 Oktober 2025

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code