Ad Code

Ekonomi Moral dalam Dunia Sepak Bola

Foto: goal.com

DALAM gegap gempita dunia sepak bola, kita sering kali terfokus pada skor akhir, aksi dramatis di lapangan, dan nama besar pemain. Namun di balik semua itu, ada dinamika ekonomi yang kian kompleks—dan sering kali luput dari sorotan, yaitu ekonomi moral. Sepak bola bukan sekadar permainan atau hiburan massa; ia telah menjadi ladang bisnis besar yang mempengaruhi kesejahteraan, etika, dan keadilan sosial.

Kita hidup di era ketika nilai transfer pemain bisa mencapai angka triliunan rupiah. Pada musim panas 2023, klub Arab Saudi, Al Hilal, menawarkan lebih dari 300 juta euro untuk membeli Kylian Mbappé dari PSG—meski sang pemain menolak tawaran tersebut. Nilai fantastis ini menunjukkan betapa sepak bola telah melampaui batas kewajaran ekonomi. Sementara itu, banyak klub kecil di liga-liga pinggiran kesulitan menggaji pemain secara layak. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: di mana letak moralitas ekonomi dalam sepak bola?

Sepak bola semestinya menjadi arena kompetisi yang adil, namun realitas menunjukkan ketimpangan yang mencolok. Klub-klub besar seperti Manchester City, Real Madrid, dan Bayern Munich memiliki kekuatan finansial yang hampir tak tertandingi. Mereka bisa membeli pemain terbaik, membayar pelatih termahal, dan memperluas basis suporter ke seluruh dunia. Sebaliknya, klub-klub kecil di Asia Tenggara atau Afrika harus bertahan hidup dengan dana minim, infrastruktur seadanya, dan ekspektasi yang tak kalah tinggi. Ketimpangan ini memperlebar jurang ekonomi, menjadikan sepak bola hanya milik mereka yang punya modal besar.

Kita juga harus mencermati praktik-praktik keuangan di balik layar. Kasus pencucian uang, penghindaran pajak, dan manipulasi laporan keuangan kerap mencoreng wajah sepak bola. Kasus Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo yang sempat terjerat penggelapan pajak di Spanyol beberapa tahun lalu menjadi peringatan bahwa bahkan bintang besar pun tidak luput dari praktik ekonomi yang tidak etis. Lebih buruk lagi, beberapa klub menggunakan struktur keuangan rumit atau sponsor fiktif untuk mengelabui aturan Financial Fair Play (FFP), seperti yang pernah dituduhkan kepada Manchester City dan Paris Saint-Germain.

Di level akar rumput, ekonomi moral juga diuji. Banyak akademi sepak bola menjanjikan mimpi menjadi pemain profesional kepada anak-anak dari keluarga miskin, padahal tidak sedikit yang berujung pada eksploitasi. Kita patut bertanya: apakah industri ini sungguh ingin membina, atau hanya menjual mimpi demi keuntungan sesaat?

Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Beberapa klub mulai menunjukkan komitmen pada nilai-nilai moral dalam menjalankan bisnis sepak bolanya. FC St. Pauli di Jerman, misalnya, dikenal karena pendekatan sosial-politiknya yang tegas. Mereka tidak menerima sponsor dari perusahaan rokok, alkohol, atau senjata, serta aktif dalam kampanye hak asasi manusia dan anti-diskriminasi. Di Norwegia, klub Tromsø IL menjadi tim pertama di dunia yang secara terbuka mengecam pelanggaran hak buruh dalam pembangunan stadion Piala Dunia 2022 di Qatar.

Ekonomi moral juga dapat menjadi panduan bagi federasi dan pemangku kebijakan olahraga. FIFA dan UEFA, meskipun sering dikritik, mulai menunjukkan langkah reformasi. FIFA telah meningkatkan transparansi dalam bidding tuan rumah turnamen dan mengembangkan program pengawasan keuangan klub. Namun, kita tahu bahwa langkah ini belum cukup. Diperlukan mekanisme kontrol yang lebih tegas, akuntabilitas yang lebih tinggi, dan peran serta publik dalam pengawasan.

Di Indonesia, kita pun punya pekerjaan rumah besar. Klub-klub lokal masih banyak yang dikelola dengan sistem keuangan tertutup, minim akuntabilitas, dan sering kali menjadi alat politik atau kendaraan bisnis elit. Laporan keuangan jarang dipublikasikan, dan isu pengaturan skor terus menghantui. Jika kita ingin membangun ekosistem sepak bola yang sehat, transparan, dan berkelanjutan, maka ekonomi moral harus menjadi fondasi utama.

Kita harus mulai melihat sepak bola bukan hanya sebagai bisnis hiburan, tetapi juga sebagai institusi sosial. Moralitas dalam pengelolaan keuangan, keadilan dalam distribusi sumber daya, dan integritas dalam kompetisi harus menjadi bagian dari visi besar pembangunan sepak bola nasional dan global. Jika tidak, sepak bola akan terus menjadi arena yang hanya menguntungkan segelintir orang, sementara mayoritas lainnya menjadi penonton dari ketimpangan yang terus berlangsung.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code