![]() |
Lumbung Pangan [Foto: kompas.id] |
DI tengah gempuran krisis global yang melanda dunia dalam beberapa tahun terakhir, termasuk pandemi, konflik geopolitik, dan perubahan iklim, ketahanan pangan menjadi isu utama yang tak bisa diabaikan. Dunia mengalami ketidakpastian pasokan pangan, fluktuasi harga, dan ancaman kelaparan yang mengintai negara-negara berkembang. Di sinilah pentingnya membangun dan memperkuat lumbung pangan nasional sebagai benteng pertahanan terhadap guncangan global. Kita, sebagai bangsa agraris, memiliki potensi besar untuk berdiri tegak dalam menghadapi tantangan ini.
Secara konseptual, lumbung pangan bukan sekadar tempat menyimpan hasil panen. Ia adalah simbol kedaulatan dan stabilitas pangan. Ia mencerminkan kemampuan suatu negara untuk mencukupi kebutuhan pangannya secara mandiri, bahkan dalam situasi darurat. Menurut data FAO tahun 2024, lebih dari 2,3 miliar orang di dunia mengalami moderat hingga parah ketidakamanan pangan. Konflik Rusia-Ukraina, yang merupakan penghasil utama gandum dunia, telah menimbulkan lonjakan harga pangan global sebesar 25% pada tahun 2022 dan masih berdampak hingga kini.
Indonesia sebenarnya memiliki modal kuat untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Kita memiliki lahan pertanian luas, keanekaragaman hayati tinggi, dan tenaga kerja sektor pertanian yang masih besar. Namun, realitas menunjukkan bahwa kita masih bergantung pada impor pangan strategis seperti gandum, kedelai, bawang putih, dan daging sapi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa impor gandum Indonesia pada 2023 mencapai 11,3 juta ton, menjadikannya salah satu pengimpor terbesar di dunia. Ini menunjukkan bahwa lumbung pangan kita belum cukup kokoh untuk menahan gejolak global.
Kita perlu meninjau ulang strategi pembangunan pertanian nasional. Selama ini, pendekatan pembangunan cenderung berfokus pada peningkatan produksi semata tanpa memperkuat sistem distribusi, logistik, dan penyimpanan hasil panen. Petani sering kali menjual hasil panen dengan harga murah saat musim panen raya karena tidak ada sistem penyimpanan yang memadai. Akibatnya, surplus pangan tidak bisa dimanfaatkan untuk menstabilkan harga di musim paceklik. Menurut Kementerian Pertanian, sebanyak 30% hasil pertanian di Indonesia terbuang sia-sia akibat kurangnya infrastruktur pascapanen.
Di sinilah urgensinya membangun lumbung pangan modern—bukan hanya gudang penyimpanan, tetapi pusat distribusi, pengolahan, hingga pengendali harga. Teknologi digital dapat digunakan untuk memantau stok, memprediksi kebutuhan, dan menyalurkan pasokan secara efisien. Kita bisa mencontoh pendekatan seperti di India dengan sistem Food Corporation of India (FCI), yang menjalankan buffer stock pangan strategis dan menyuplai melalui skema subsidi ke masyarakat miskin.
Lebih jauh, lumbung pangan lokal di tingkat desa dan kecamatan perlu diberdayakan kembali. Banyak desa di masa lalu memiliki sistem lumbung pangan tradisional, namun kini tergantikan oleh sistem pasar bebas. Dengan memperkuat koperasi tani dan BUMDes sebagai pengelola cadangan pangan desa, kita bisa memastikan akses pangan terjaga di tingkat paling dasar. Ini penting mengingat 42% masyarakat Indonesia masih tinggal di pedesaan (BPS, 2023), dan mayoritas dari mereka menggantungkan hidup dari sektor pertanian.
Selain itu, perubahan iklim menjadi ancaman nyata terhadap ketahanan pangan kita. Kemarau panjang, banjir bandang, dan hama yang tak terduga membuat produktivitas pertanian semakin tidak stabil. Kita memerlukan sistem pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim, seperti pertanian konservasi, irigasi hemat air, dan diversifikasi pangan. Food and Agriculture Organization (FAO) bahkan menekankan bahwa sistem pangan masa depan harus resilien terhadap iklim dan bencana.
Kita juga perlu membangun kesadaran publik tentang pentingnya pangan lokal. Ketergantungan kita pada pangan impor menyebabkan kerentanan terhadap gejolak harga global. Meningkatkan konsumsi produk lokal seperti sorgum, singkong, sagu, dan jagung bisa mengurangi tekanan terhadap komoditas impor. Kementerian Pertanian telah mendorong diversifikasi pangan melalui program Smart Farming, namun perlu dukungan dari berbagai pihak untuk mengubah preferensi konsumsi masyarakat.
Lumbung pangan bukan hanya proyek fisik, tapi juga bentuk perlawanan terhadap ketimpangan dan ketidakadilan sistem pangan global. Dengan memperkuat lumbung pangan, kita menciptakan sistem pangan yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan. Kita tidak hanya menyelamatkan petani kecil dari keterpurukan, tetapi juga memastikan anak cucu kita tidak kelaparan di masa depan.
Kini saatnya kita bangkit dan membangun sistem pangan yang tangguh. Lumbung pangan adalah perisai kita dari krisis global. Ia bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa. Mari kita kuatkan kembali akar pangan kita, dari desa ke kota, dari sawah ke meja makan.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!