Berbagai laporan internasional menunjukkan bahwa tantangan literasi Indonesia masih serius. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menempatkan kemampuan literasi membaca pelajar Indonesia masih di bawah rata-rata negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), meskipun ada sedikit perbaikan dibandingkan periode sebelumnya. Namun persoalan literasi tidak berhenti di ruang kelas. Rendahnya kemampuan membaca kritis juga tercermin dalam ruang publik: mudahnya hoaks dipercaya, dangkalnya perdebatan, dan maraknya opini tanpa data.
Di sinilah menulis memiliki peran strategis. Ketika kita menulis, kita dipaksa untuk membaca lebih dari satu sumber, memeriksa keabsahan data, dan menyusun argumen secara runtut. Proses ini melatih disiplin berpikir yang menjadi inti literasi. Menulis bukan sekadar menuangkan pendapat, tetapi mengolah pengetahuan agar bisa dipahami orang lain. Dengan kata lain, setiap tulisan yang bertanggung jawab adalah latihan literasi—bagi penulis maupun pembacanya.
Menulis juga berfungsi sebagai penyeimbang budaya lisan yang dominan. Budaya lisan sering kali mengandalkan emosi, spontanitas, dan kecepatan respons. Sementara menulis menuntut jeda: jeda untuk berpikir, meragukan asumsi, dan menimbang akibat dari setiap kata. Dalam masyarakat yang semakin reaktif, tulisan yang tenang dan argumentatif menjadi penopang akal sehat bersama.
Lebih jauh, menulis di ruang publik—terutama melalui artikel opini—adalah bentuk partisipasi warga negara dalam demokrasi. Literasi tidak akan tumbuh jika publik hanya menjadi konsumen kebijakan dan informasi. Kita perlu terlibat sebagai subjek yang berpikir, mengkritik, dan menawarkan solusi. Tulisan opini memungkinkan warga biasa untuk berdialog dengan pengambil kebijakan, akademisi, dan elite media dalam posisi yang relatif setara: argumen melawan argumen.
Masalahnya, menulis masih sering dianggap sebagai aktivitas eksklusif. Banyak orang merasa tidak cukup pintar, tidak cukup akademis, atau tidak cukup “layak” untuk menulis di media. Anggapan ini keliru dan berbahaya. Jika hanya segelintir orang yang menulis, maka wacana publik akan dikuasai oleh sudut pandang yang sempit. Literasi bangsa justru tumbuh ketika semakin banyak warga dengan latar belakang beragam berani menulis berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya.
Kita juga perlu jujur melihat tantangan era digital. Media sosial memang membuka ruang ekspresi luas, tetapi tidak otomatis meningkatkan literasi. Banyak konten viral justru memperkuat bias, emosi, dan polarisasi. Dalam konteks ini, menulis artikel yang terstruktur, berbasis data, dan memiliki kedalaman analisis adalah bentuk perlawanan terhadap banalisasi pengetahuan. Menulis menjadi tindakan etis, yaitu memilih untuk tidak menyederhanakan persoalan kompleks demi popularitas sesaat.
Penguatan literasi bangsa melalui menulis tidak harus menunggu kebijakan besar negara. Menulis bisa dimulai dari kebiasaan individual dan komunitas kecil, misalnya membaca isu publik dengan serius, mendiskusikannya, lalu menuliskannya secara bertanggung jawab. Ketika tulisan-tulisan seperti ini terus hadir, ruang publik akan dipenuhi oleh wacana yang lebih sehat. Perlahan, standar diskusi publik ikut naik.
Dengan demikian, literasi bangsa bukan hanya soal skor internasional atau program pemerintah, tetapi terkait watak kolektif. Apakah kita mau berpikir sebelum berbicara, membaca sebelum menilai, dan menulis sebelum menghakimi. Dengan menulis, kita sedang menanamkan kebiasaan itu. Kita sedang ikut menjaga kualitas akal sehat publik, karena tanpa akal sehat, bangsa sebesar apa pun akan rapuh.
Menulis, dalam konteks ini, bukan pekerjaan sampingan, tetapi tanggung jawab kewargaan. Ketika kita menulis dengan sadar dan jujur, kita sedang berkontribusi pada fondasi intelektual bangsa. Dari situlah literasi tidak hanya menjadi slogan, tetapi menjadi bagian aktivitas hidup sehari-hari.


0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!