Ad Code

Siapa yang Paling Ketakutan pada Status Bencana Nasional?

Ilustrasi banjir [Sumber: tempo]

KITA hidup di sebuah negeri yang menjadikan bencana sebagai peristiwa berulang, hampir rutin, tanpa jeda refleksi yang memadai. Banjir, longsor, dan tanah amblas hadir silih berganti, meninggalkan korban jiwa, kerugian ekonomi, serta trauma sosial yang terus menumpuk. Bagi masyarakat, kepanikan bukan lagi reaksi sesaat, melainkan kondisi struktural yang harus dihadapi setiap musim hujan. Namun di tengah situasi itu, terdapat satu istilah yang justru memicu kepanikan paling serius di kalangan tertentu, yaitu bencana nasional.

Bagi aktor-aktor yang selama ini beroperasi nyaman di balik meja birokrasi, dokumen perizinan, dan laporan administratif, penetapan status bencana nasional memiliki konsekuensi politik dan hukum yang tidak ringan. Selama tragedi masih dapat diklasifikasikan sebagai bencana daerah, cuaca ekstrem, atau fenomena alam musiman, tanggung jawab dapat direduksi dan dialihkan. Namun ketika negara secara resmi menyatakan status nasional, logika penanganan berubah secara mendasar. Korban tidak lagi sekadar dicatat, tetapi penyebab mulai ditelusuri, dan rantai kebijakan masa lalu menjadi objek pemeriksaan.

Data hingga November 2025 menunjukkan eskalasi situasi yang mengkhawatirkan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 2.919 kejadian bencana, dengan lebih dari 98 persen disebabkan faktor hidrometeorologi. Pada periode yang sama, banjir bandang di Sumatra menewaskan ratusan orang, menyebabkan ribuan lainnya mengungsi, serta berdampak pada lebih dari tiga juta warga. Angka-angka ini menegaskan bahwa bencana yang terjadi tidak dapat terus-menerus direduksi sebagai takdir alam semata. Ia merupakan hasil akumulatif dari kebijakan tata ruang yang longgar, eksploitasi lingkungan yang masif, dan lemahnya pengawasan negara.

Penetapan bencana nasional menjadi ancaman serius bagi korporasi yang beroperasi di hulu sungai, kawasan gambut, maupun wilayah lindung. Status tersebut membuka ruang investigasi lintas lembaga dan memperluas kemungkinan pertanggungjawaban hukum. Narasi lama tentang ketidakpastian alam tidak lagi cukup untuk menutup jejak pembukaan hutan, pengeringan lahan basah, atau pengabaian daya dukung lingkungan.

Kegelisahan serupa juga muncul di kalangan pejabat publik yang pernah mengesahkan izin-izin strategis. Dokumen yang dahulu dianggap prosedural—AMDAL, rekomendasi teknis, dan perpanjangan konsesi—dapat berubah menjadi alat bukti. Selama bencana diletakkan sebagai urusan daerah, tanggung jawab dapat dipersempit secara administratif. Namun status nasional secara otomatis memperluas spektrum akuntabilitas hingga ke tingkat pusat.

Di luar struktur formal, terdapat pula jaringan perantara kekuasaan yang selama ini luput dari sorotan. Para broker kebijakan dan anggaran ini tidak tercantum dalam bagan organisasi, tetapi memiliki pengaruh signifikan dalam distribusi proyek dan dana publik. Penetapan bencana nasional menjadikan jalur-jalur informal tersebut semakin sulit disembunyikan, karena dana penanganan yang besar selalu diikuti oleh mekanisme pengawasan yang ketat.

Elite politik yang tengah membangun legitimasi dan citra publik pun berada dalam posisi yang rentan. Bencana nasional adalah peristiwa yang diawasi tidak hanya oleh publik domestik, tetapi juga media internasional dan lembaga donor. Kegagalan mengelola respons, atau upaya menutup-nutupi penyebab struktural, berpotensi merusak kredibilitas politik secara permanen.

Kondisi inilah yang menjelaskan mengapa selalu muncul resistensi terhadap penetapan status bencana nasional. Pernyataan seperti “tidak perlu dibesar-besarkan”, “cukup ditangani daerah”, atau “ini murni fenomena alam” sering kali lebih mencerminkan kepentingan defensif daripada penilaian objektif. Bahasa teknokratis digunakan untuk menenangkan publik, sekaligus menunda pembukaan ruang pertanggungjawaban.

Bagi masyarakat terdampak, status bencana nasional bukan persoalan simbolik atau politis, tetapi merupakan prasyarat bagi transparansi, keadilan, dan koreksi kebijakan. Tanpa pengakuan atas skala nasional sebuah bencana, tragedi akan terus direproduksi sebagai peristiwa alamiah, tanpa pernah menyentuh akar persoalan.

Bencana nasional memang menimbulkan ketakutan. Namun ketakutan itu bukan milik korban, melainkan milik mereka yang selama ini diuntungkan oleh absennya pengawasan serius. Ketika status nasional ditetapkan, cahaya pengawasan menyinari "perilaku gelap" yang selama ini tersembunyi. Pada titik itulah, pertanyaan yang lama dihindari tak lagi dapat ditunda, yaitu siapa membuka lahan, siapa mengesahkan izin, siapa memperoleh keuntungan, siapa memilih diam, dan siapa yang seharusnya bertanggung jawab.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code