Ad Code

Moratorium Ekspor Kelapa, Solusi atau Ancaman?

Kelapa dan produk kelapa [Foto: shutterstock]

SELAMA puluhan tahun, petani kelapa di Indonesia menjalani hidup yang penuh getir. Harga kelapa terus merosot sejak dekade 1990-an, tertinggal jauh dari pamor minyak kelapa sawit yang merajai pasar. Sementara industri sawit tumbuh pesat dan menggairahkan investasi besar-besaran, kebun kelapa di berbagai pelosok tanah air malah ditinggalkan, bahkan banyak yang beralih fungsi menjadi lahan tambang atau perkebunan sawit.

Kini, harapan itu kembali menyala. Harga kelapa mulai merangkak naik ke kisaran Rp 6.400 hingga Rp 6.800 per kilogram. Sebuah lonjakan signifikan bila dibandingkan dengan masa suram ketika harga kelapa bertahan di angka Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per kilogram selama lebih dari satu dekade. Kenaikan harga ini tidak hanya berarti peningkatan pendapatan bagi petani, tetapi juga kebangkitan sektor ekonomi pedesaan yang sempat terpuruk terlalu lama.

Kita semua tahu bahwa kelapa bukan sekadar buah. Ia adalah simbol dari budaya agraris kita, bagian dari identitas pangan tropis Nusantara, serta penghidupan bagi jutaan keluarga petani di Maluku, Sulawesi, Sumatera, dan wilayah lain. Namun sayangnya, selama ini perhatian terhadap kelapa dan petaninya sangat minim. Pemerintah dan industri tampak terlalu fokus pada komoditas lain yang dinilai lebih "menguntungkan", tanpa melihat ketimpangan dan penderitaan di balik harga yang tidak adil di tingkat petani.

Alih fungsi lahan menjadi gejala nyata dari keterpurukan tersebut. Data resmi menunjukkan penurunan luas areal tanam kelapa dari 3,9 juta hektar pada tahun 1990 menjadi hanya 3,2 juta hektar di tahun 2024. Ini bukan angka kecil. Setiap hektar yang hilang berarti puluhan bahkan ratusan pohon kelapa ditebang dan puluhan keluarga kehilangan sumber penghasilan tetap.

Kenaikan harga saat ini seharusnya disambut dengan kebijakan yang mendukung keberlanjutan. Namun ironisnya, muncul wacana untuk melakukan moratorium ekspor kelapa selama enam bulan. Alasannya: industri dalam negeri kekurangan bahan baku. Tapi mari kita lihat akar persoalannya. Mengapa industri tidak sejak awal membangun kemitraan dengan petani? Mengapa mereka hanya mau membeli saat harga murah dan menghindar ketika harga melonjak? Apakah sistem tata niaga kita memang hanya berpihak pada pemilik modal?

Sudah saatnya kita berani menata ulang relasi industri dan petani. Ekspor yang meningkat justru memberikan insentif bagi petani untuk merawat kembali kebun kelapa mereka yang sempat terbengkalai. Harga yang baik mendorong semangat melakukan replanting, menambah luas tanam, dan menjaga keberlanjutan produksi. Jika ekspor dihentikan, roda ekonomi itu bisa macet kembali. Ini bukan sekadar soal perdagangan, melainkan soal keberlangsungan hidup petani dan regenerasi sektor kelapa nasional.

Kita harus menyadari bahwa industri olahan kelapa bisa tumbuh pesat bukan karena keajaiban teknologi semata, tetapi karena hasil jerih payah petani yang selama ini membeli pupuk dengan utang, memanjat pohon kelapa setiap hari, dan bertahan dalam kondisi harga yang tidak manusiawi. Sudah cukup lama mereka berkorban, sekarang saatnya kita memastikan bahwa mereka mendapatkan keadilan.

Pemerintah perlu hadir bukan untuk mengekang potensi ekonomi petani, tetapi justru membuka ruang yang lebih luas. Bukannya menghentikan ekspor, lebih baik pemerintah mendorong tumbuhnya industri hilir dalam negeri yang berpihak pada petani. Kemitraan yang adil, transparansi harga, serta regulasi yang melindungi kepentingan petani harus diutamakan. Di sisi lain, kita juga memerlukan skema pendanaan untuk replanting pohon kelapa yang sudah tua, agar produktivitas dapat terus meningkat tanpa harus menambah luas lahan baru.

Lebih dari itu, insentif fiskal bisa menjadi cara untuk menghentikan tren alih fungsi lahan. Jika petani diberi kemudahan akses permodalan, jaminan pasar, dan kepastian harga, mereka tidak akan menjual kebun kelapa mereka. Kita semua tahu, ketika ekonomi keluarga terjepit, menjual lahan adalah satu-satunya pilihan pahit yang sering mereka ambil. Tetapi dengan dukungan yang tepat, pilihan itu bisa berubah.

Momentum ini adalah kesempatan emas untuk mengembalikan kejayaan kelapa Indonesia. Jangan sampai kita mengulang kesalahan masa lalu, di mana kepentingan industri lebih didahulukan daripada kesejahteraan petani. Kita tidak boleh kembali membiarkan petani kelapa terpuruk dalam harga murah yang tak manusiawi. Kelapa adalah berkah alam tropis yang luar biasa. Jangan biarkan berkah itu hanya dinikmati oleh segelintir orang di hilir rantai produksi.

Kini saatnya kita berpihak. Bukan hanya kepada industri atau angka statistik ekspor, tetapi kepada manusia-manusia tangguh yang selama ini menopang keberadaan komoditas bernilai tinggi itu dari hulu. Mereka bukan beban, mereka adalah aset bangsa. Kita wajib menjaga agar kebangkitan ini menjadi awal dari babak baru kesejahteraan petani kelapa Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code