Ad Code

Puasa Memang (Bukan) Untuk Tuhan


TAK
 terasa besok mungkin kita sudah memasuki bulan Ramadan. Bulan yang sangat dinanti-nanti oleh orang-orang yang beriman. Puasa memang hanya dikhususkan bagi orang-orang yang beriman, sebab iman merupakan modal utama bagi kaum muslim untuk menjalankan puasa. Ustaz-ustaz dan para agamawan seringkali berbicara tentang keutamaan bulan Ramadan. Bahwa dalam bulan Ramadan Allah SWT. akan memberi iming-iming yang lebih menggiurkan kepada hamba-hamba-Nya dengan memberi hamparan waktu seluas-luasnya untuk mencapai derajat ketakwaan, kewajiban puasa dan pelipatgandaan pahala. Di samping itu, juga limpahan rahmat dan pengampunan serta jaminan jauh dari api neraka.

Dalam doktrin normatifnya, puasa bagi kaum muslim adalah sebuah kewajiban. Seperti termaktub dalam QS. Al Baqarah 183, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Nah, hanya orang-orang yang beriman saja yang diperintahkan untuk berpuasa.

Puasa adalah suatu bentuk penyembahan khusus antara seorang hamba dan Allah sebagai Tuhannya, karena hanya Allah yang mengetahui niat puasa seseorang. Tak seorangpun mengetahui apakah seseorang berpuasa untuk memberi kesan atau citra ketakwaan kepada orang-orang sekitarnya ataukah untuk maksud lain di luar tujuan mulia yang utama. Orang yang berpuasa diberi imbalan sebagai amalan sesuai dengan apa yang ada dalam pandangan Allah.

Puasa untuk Allah?

Dalam sebuah hadits muttafaqun alaihi disebutkan bahwa dengan berpuasa seseorang lebih merasakan kedekatan dengan Allah, “Seluruh amal ibadah anak Adam baginya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan balasannya”. Saking besarnya manfaat puasa bagi manusia, sampai-sampai Allah mengatakan begitu.

Tetapi benarkah Allah membutuhkan puasa kita? Barangkali, seperti kata Emha Ainun Nadjib (1995) bahwa sesungguhnya pernyataan itu semacam diplomasi cinta-Nya kepada kita. Allah ingin menekankan betapa pentingnya puasa bagi kesehatan dan keselamatan manusia, sehingga Allah menggunakan semacam "taktik psikologis" dengan mengakui bahwa puasa itu untuk diri-Nya.

Secara psikologis, manusia mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan perintah Allah jika perintah itu dianggap tidak mempunyai manfaat yang terlihat secara kasat mata, semacam puasa ini. Lain halnya kalau kita diperintahkan sholat dan sedekah. Sholat dan sedekah jelas bisa dilihat orang lain semisal calon mertua, mertua, kekasih, tetangga dan sebagainya, sehingga kita bisa membangun citra dan "memamerkan" ketakwaan kita kepada mereka.

Sementara kalau puasa, siapa yang tahu kalau diri kita puasa atau tidak selain diri kita sendiri dan Sang Pencipta? Siapa yang bisa menjamin ketika puasa pada siang bolong kita nyolong makanan dan menyantapnya di bawah kolong meja atau nyolong sesuatu yang bukan hak kita dan menyembunyikannya di balik meja. 
Makanya, karena begitu pentingnya puasa bagi kehidupan manusia, sampai-sampai Allah memberi iming-iming dengan bahasa psikologis seperti itu. Jadi masihkah Allah membutuhkan puasa kita?

Akhirnya, semoga puasa kita pada Ramadan kali ini bukan sekadar ritual individual, sekadar ritual "persembahan" kepada Allah SWT. Puasa yang tidak membuat kita menjadi orang asing, karena meskipun kita berpuasa tetapi terkadang kita masih kurang berempati dengan saudara-saudara kita yang lapar dan dilaparkan. Dengan puasa kali ini, semoga mampu menumbuhkan kembali kesadaran spiritual dan kesadaran hati untuk "ikut berpuasa" sehingga puasa kita benar-benar penuh makna dan mampu menciptakan, memancarkan dan memendarkan kesalehan sosial kita. Amin! Marhaban ya Ramadhan!

Maumere, 31 Agustus 2008

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code