Ad Code

Ramadan: Fasting atau Feasting?

Makan Berlebihan (Foto: shutterstock)

RAMADAN adalah bulan kesembilan dalam kalender Islam dan dianggap sebagai bulan yang paling suci dalam agama Islam. Selama Ramadan, umat Islam berpuasa selama sepanjang hari dari fajar hingga matahari terbenam. Puasa Ramadan merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang sudah baligh dan sehat secara fisik dan mental, kecuali bagi mereka yang memiliki halangan atau kondisi medis tertentu dan yang sedang dalam perjalanan jauh. 

Selain itu, Ramadan juga dianggap sebagai bulan penuh berkah dan ampunan, di mana umat Muslim dianjurkan untuk meningkatkan ibadah dan melakukan amal kebajikan secara lebih intensif. Ramadan berakhir dengan hari raya Idul Fitri, yang dirayakan oleh umat Muslim di seluruh dunia.

Sayangnya, saat Ramadan seringkali muncul ironi konsumsi yaitu kecenderungan untuk “balas dendam” dengan meningkatkan konsumsi makanan dan minuman saat berbuka puasa dan sahur. Makan terlalu banyak dan tidak bisa menegndalikan diri. Padahal, puasa seharusnya menjadi kesempatan untuk meningkatkan kesadaran akan kebutuhan makanan dan minuman yang sehat dan teratur, serta untuk menumbuhkan rasa syukur atas karunia yang diberikan Allah.

Selain itu, dalam beberapa kasus, konsumsi makanan dan minuman yang berlebihan saat berbuka puasa juga dapat mengakibatkan masalah kesehatan seperti obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular. Hal ini tentu saja bertentangan dengan tujuan dari puasa Ramadan, yang seharusnya membantu kita untuk meningkatkan kualitas kesehatan fisik dan spiritual.

Dampak lain dari munculnya ironi ini adalah limbah makanan yang dihasilkan akibat tak habis dikonsumsi. Padahal, Indonesia sejauh ini masih menempati peringkat 2 penghasil limbah makanan di dunia setelah Arab Saudi. Menurut laporan Bappenas pada 2021 lalu,  bahwa limbah pangan dan juga kehilangan pangan di Indonesia selama 2000–2019 mencapai 150–184 kg per kapita per tahun atau setara dengan makanan 30% – 40% penduduk Indonesia sekaligus setara dengan 4%-5% pendapatan nasional atau GDP Indonesia.  

Efek makan berlebih dan limbah makanan ini sesungguhnya tidak hanya berdampak secara ekonomi saja, tetapi jauh lebih luas juga mempunyai dampak ekologi, sosiologi, dan apatah lagi dampak teologi. Ada nilai-nilai keberlanjutan dan tanggung jawab sosial yang seharusnya kita pegang erat sebagai orang muslim dan ada nilai-nilai teologi yang harus diimani dan diamalkan.

Dan bukankah dalam konteks teologi, makan makanan berlebihan itu sangat tidak dianjurkan?  Sebagaimana termaktup dalam kitab suci: “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al Araf 31).

Demikian juga dengan hadist Nabi Muhammad SAW: "Tidaklah seorang anak Adam mengisi sesuatu yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya, dan jika dia harus mengerjakannya maka hendaklah dia membagi sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak melupakan esensi dari puasa Ramadan dan mengambil manfaat yang sebenarnya dari ibadah ini. Karena sesungguhnya Ramadan bukanlah tentang makanan atau pesta makan, melainkan tentang pengendalian diri dan ketaatan kepada Allah SWT. Ramadan adalah tentang fasting (puasa), bukan tentang feasting (pesta). Bukan begitu? 

Wonosalam, 6 April 2023

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code