SUATU ketika saya ditanya seorang kawan, mengapa harus menulis di media massa (cetak)? Sebenarnya saya malu dan tak percaya diri untuk menjawabnya. Tak terlalu percaya diri karena jumlah tulisan saya yang sempat dimuat di media massa jumlahnya belum sampai ribuan, hanya ratusan saja. Dan ketika ditanya dengan pertanyaan “Mengapa harus menulis?”, sesungguhnya banyak alasan yang melatarbelakangi “mengapa menulis”, tanpa berlebihan memakai kata “harus”.
Berawal dari tantangan dari guru “mencangkul” saya waktu di Bogor, bahwa jika mampu menulis artikel dan menembus media cetak tertentu akan diberi nilai B tanpa melihat hasil ujian yang lain dan terbebas dari membuat makalah. Hasilnya, sekelas termasuk saya tak ada yang menulis dan menembus media ketika diajar beliau yang sekarang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu ini. Namun demikian, saya tak lekas berhenti belajar membuat tulisan dalam bentuk artikel untuk saya kirim ke media cetak, tanpa niatan untuk mengejar atau mendapat nilai.
Pada awal menulis, kadangkala saya mengalami kesulitan. Untungnya saya sedikit-banyak sudah ada bahan untuk membuat artikel. Makalah-makalah yang pernah saya buat sebagai tugas dari guru-guru “mencangkul” kala itu, saya “cangkul” lagi menjadi tulisan artikel opini. Tentu saja dengan bahasa yang lebih umum dan tidak kaku layaknya makalah.
Alasan lainnya mengapa menulis adalah agar bisa berlangganan koran gratis. Dulu di Bogor, beberapa koran lokal memberi ruang bagi penulis luar atau penulis lepas. Bagi penulis yang tulisannya dimuat, imbalan yang didapat bukanlah honor dalam bentuk uang, tetapi koran gratis selama beberapa edisi. Mungkin bagi koran tersebut, cara ini merupakan usaha untuk memperkenalkan dan sekaligus meluaskan segmen pembacanya. Dan bagi saya dan teman-teman lain yang menjadi anak kos, untuk bisa membaca koran tak harus membeli koran, cukup dengan menulis. Bahkan agar tulisan selalu dimuat, beberapa kawan yang suka menulis, berdiskusi dulu. Satu topik dibahas dan ditulis dari sudut pandang yang berbeda dan ada pro-kontra.
Kalau sudah demikian, biasanya akan dimuat secara beruntun. Hari ini ada tulisan yang pro, beberapa hari berikutnya, kawan kita yang lain bisa mengirim tulisan yang kontra sebagai jawaban dan kritik pada tulisan sebelumnya.
Nah sekarang ini, media massa (cetak) baik berupa koran, tabloid dan majalah banyak sekali jumlahnya. Setiap terbit, media massa ini tentu memerlukan tulisan-tulisan baik berupa berita, opini, dan biasanya pada hari minggu juga memuat cerita pendek (cerpen), resensi buku dan sebagainya. Bisa kita hitung berapa tulisan yang diperlukan untuk mengisi media-media itu. Kalau berita mungkin dari para wartawannya atau pun koresponden media yang bersangkutan. Sementara untuk tulisan seperti opini, cerpen/cerbung, dan resensi umumnya diperuntukan bagi penulis luar/penulis lepas.
Tentu ini sebuah peluang, peluang untuk menyebarkan ide-ide tertulis kita sekaligus peluang “menguji” tulisan kita dan peluang untuk mendapatkan honor. Terserah apa niatan kita, yang jelas dengan menulis dan berani mengirimkan ke media, saya pikir ini sebuah prestasi tersendiri. Kemudian jika dimuat ini adalah prestasi berikutnya. Dan kalaupun akhirnya mendapat honor, kembali saja ke prinsip bahwa Tuhan memang maha pengasih dan tak pernah melupakan usaha hambaNya.
Untuk honor ini, sebenarnya lumayan juga bisa didapat untuk sekadar membeli kopi. Saya tak tahu pasti berapa honor sebuah tulisan (opini) di koran-koran atau majalah di Indonesia. Namun, pengalaman saya dulu sekitar tahun 2005-2008, ketika masih relatif aktif menulis di koran Kompas yang edisi lokal (Jawa Barat dan Jawa Timur), sekali pemuatan honornya 470.000,- rupiah sudah dipotong pajak. Sementara untuk harian Surya honornya 250.000,- rupiah. Beruntung dalam rentang waktu itu, ada puluhan tulisan saya yang bisa masuk dan dimuat di tiga koran itu.
Sayangnya, untuk ketiga koran yang masih satu induk ini sejak awal tahun 2011 sudah tak menyediakan ruang bagi penulis lepas. Padahal, sesungguhnya isu-isu lokal yang diangkat penulis luar sangat menarik untuk diberi ruang, sehingga tetap terjalin percikan-percikan ide yang kadang kala tak ter-cover di lingkup nasional. Kalau toh sekarang koran-koran dan juga media online (blog) menyediakan ruang bagi jurnalisme warga untuk memercikan ide-idenya, tetapi mungkin “gengsi”-nya sangat berbeda dengan ruang khusus opini media cetak.
Untuk koran Kompas edisi nasional atau koran lainnya mungkin lebih besar lagi dari yang saya sebutkan itu. Sementara untuk koran-koran lainnya yang selama ini pernah memuat tulisan saya, bahkan ada yang sampai belasan judul, entah berapa besaran honornya, karena saya tak pernah mendapat honor dan tak pernah meminta atau menghubungi ketika tulisan saya dimuat, apakah ada honornya atau tidak. Yang jelas, saya menulis saja dan ketika berani mengirimkan, sekali lagi hanya mengirimkan, sudah saya anggap sebuah prestasi tersendiri. Kenapa? Untuk bisa masuk koran perlu perjuangan yang berdarah-darah dan persaingan super ketat. Seperti yang disampaikan Pimred Kompas edisi Jawa Barat ketika tahun 2006 lalu pada acara buka bersama dan kebetulan saya salah satu freelance writer opini yang diundang dalam rangka pembukaan gedung barunya (kalau tak salah ingat Pak Dedi Muhtadi), bahwa setiap hari Kompas edisi Jawa Barat menerima 7-10 artikel opini dari berbagai penulis dengan ragam profesinya. Dari 7-10 artikel tersebut hanya satu yang dimuat, selebihnya tentu saja tak dimuat atau masuk tong sampah.
Jadi, diera saat ini sesungguhnya peluang menulis di media massa cetak masih sangat terbuka. Tempat belajar menulispun beragam bentuknya, misal blog. Kalaupun tulisan yang kita kirim tak dimuat, kita bisa langsung mempublikasikan dalam blog tanpa perlu bingung dan kawatir jika tak dimuat di media cetak. Dan meskipun ada blog ataupun koran online, media massa cetak saya yakin tak akan “punah”, karena ada kenikmatan tersendiri ketika menulis dan/ataupun membaca berita atau artikel dalam lembaran-lembaran kertas yang tak bisa disuguhkan oleh media online. Mari menulis!
6 Komentar
Saya sudah pernah kirim ke Media Indonesia tapi gak dimuat.
BalasHapusDulu pernah dimuat di mjahalah femina dan gadis,lumayan honornya
Salam hangat dari Surabaya
wah saya pengen coba nih kayak gini... tapi engga tau caranya -_-
BalasHapussama kayak dosenku, beliau juga pernah bikin peraturan begitu. Kalo mampu menulis dan dimuat di media cetak, langsung dikasi nilai B atau bahkan A, meskipun gak pernah masuk kuliah.
BalasHapusdan sama juga... sekelas waktu itu belom ada yang "mampu" jadi penulis.
Salam kenal,pingin mencoba juga menulis di media cetak, terima kasih tulisannya menjadi inspirasi.
BalasHapuskalo penulis itu harusnya gak ada kecewanya ya, ibaratnya buang seseutu yang ada dalam diri.. ikhlaskan aja, kalo lolos redaksi alhamdulillah kalo ngak ya yang penting udah bisa mengungkapkan maksud dari tulisan...
BalasHapussalam kenal :)
ku dah follow blognya, jgn lupa kunjungan baliknya :)
Pada MK Pendidikan Lingkungan, saya menawarkan nilai A untuk dua artikel bertema lingkungan terkini dan nilai B untuk satu artikel yang diterbitkan di koran Pikiran Rakyat, Bandung.
BalasHapuswww.airlimbahku.com
Thanks for your visiting and comments!