Ad Code

Cengkih Aroma Orde Baru, BPPC, dan Keculasan yang Merugikan Petani

KOMODITAS cengkih pada masa Orde Baru menjadi salah satu cerita pilu bagi petani Indonesia. Meskipun Indonesia dikenal sebagai penghasil cengkih terbesar di dunia, nasib petani cengkih saat itu justru berada di bawah bayang-bayang monopoli dan praktik culas yang diimplementasikan oleh Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC). Kebijakan yang semula diharapkan dapat menstabilkan harga cengkih dan mensejahterakan petani, nyatanya justru menjadi alat kekuasaan yang memarginalkan mereka.

Di masa Orde Baru, kebijakan ekonomi yang terpusat pada tangan pemerintah seringkali mengabaikan kepentingan rakyat kecil. BPPC didirikan dengan tujuan mengatur tata niaga cengkih agar dapat menghindari fluktuasi harga yang ekstrem, sehingga dapat melindungi para petani. Namun, seiring berjalannya waktu, BPPC berubah menjadi alat untuk memonopoli perdagangan cengkih, sehingga keuntungan yang diharapkan oleh petani beralih ke segelintir pihak yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan.

Praktik culas yang dilakukan BPPC antara lain adalah menentukan harga beli cengkih yang sangat rendah dari petani, tetapi menjualnya dengan harga tinggi di pasaran. Ketika petani dihadapkan pada kondisi ini, mereka tidak memiliki pilihan selain menjual cengkih mereka kepada BPPC dengan harga yang ditetapkan. Hal ini menyebabkan petani tidak mendapatkan keuntungan yang layak, bahkan seringkali harus menanggung kerugian karena biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan harga jual yang diterima.

Selain itu, kebijakan BPPC yang sangat terpusat membuat distribusi cengkih menjadi tidak efisien. Banyak laporan yang menyebutkan adanya praktik korupsi dalam distribusi dan penjualan cengkih, mulai dari penyusunan kuota yang tidak adil hingga penggelembungan harga. Praktik culas ini tidak hanya merugikan petani tetapi juga perekonomian secara umum, karena menurunkan daya saing cengkih Indonesia di pasar internasional.

Pada masa itu, petani cengkih berada dalam situasi yang sangat sulit. Mereka tidak hanya harus menghadapi tekanan harga dari BPPC, tetapi juga kesulitan dalam mengakses pasar langsung. BPPC dengan kekuasaannya mengontrol seluruh jalur distribusi, sehingga petani yang mencoba menjual cengkih mereka sendiri harus berhadapan dengan berbagai hambatan birokrasi dan ancaman sanksi. Hal ini menciptakan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap BPPC, meskipun dampaknya sangat merugikan bagi petani.

Ketika melihat lebih dekat, keterlibatan BPPC dalam perdagangan cengkih tidak hanya dilandasi oleh kepentingan ekonomi semata, tetapi juga oleh kepentingan politik. Pada masa Orde Baru, banyak kebijakan yang dibuat untuk memperkuat posisi politik pemerintah dan sekutunya. BPPC menjadi salah satu instrumen untuk mengontrol ekonomi pedesaan dan memastikan loyalitas politik dari kalangan petani. Dengan mengendalikan sumber pendapatan utama mereka, pemerintah Orde Baru mampu memanipulasi dukungan dan menjaga stabilitas politik yang diinginkan.

Salah satu contoh konkret dari praktik culas BPPC adalah pada periode 1990-an, ketika harga cengkih di pasar internasional mengalami peningkatan signifikan. Alih-alih memberikan keuntungan kepada petani, BPPC justru menahan cengkih yang dimiliki untuk menciptakan kelangkaan buatan dan meningkatkan harga jual di pasaran. Sementara itu, petani tidak mendapatkan harga yang sebanding karena harga beli dari BPPC tetap rendah. Praktik ini menunjukkan bagaimana BPPC lebih mengutamakan keuntungan pribadi daripada kesejahteraan petani yang seharusnya mereka lindungi.

Kritik terhadap BPPC sebenarnya sudah muncul sejak awal pendiriannya. Banyak pihak yang menilai bahwa keberadaan BPPC hanya akan menciptakan monopoli dan merugikan petani. Namun, pada masa Orde Baru, kritik semacam ini seringkali diabaikan atau bahkan dibungkam. Petani yang berusaha melawan kebijakan ini seringkali mendapatkan intimidasi atau tekanan dari pihak berwenang. Hal ini semakin menunjukkan bagaimana BPPC tidak hanya beroperasi di bidang ekonomi, tetapi juga sebagai alat kontrol sosial dan politik.

Dengan berjalannya waktu, dampak negatif dari kebijakan BPPC semakin terasa. Produksi cengkih di Indonesia menurun karena banyak petani yang akhirnya memilih untuk beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan. Penurunan produksi ini kemudian berdampak pada menurunnya ekspor cengkih Indonesia, yang pada akhirnya merugikan perekonomian nasional. BPPC yang semula diharapkan bisa menjadi solusi, justru menjadi masalah yang memperburuk keadaan.

Reformasi 1998 menjadi titik balik penting dalam sejarah kebijakan cengkih di Indonesia. Setelah jatuhnya Orde Baru, BPPC dibubarkan dan tata niaga cengkih kembali dibuka untuk persaingan bebas. Meskipun demikian, luka yang ditinggalkan oleh kebijakan BPPC masih membekas. Banyak petani yang hingga saat ini masih merasakan dampak negatif dari masa monopoli tersebut, mulai dari kerugian ekonomi hingga hilangnya kepercayaan terhadap institusi pemerintah.

Pembubaran BPPC membuka babak baru dalam sejarah perdagangan cengkih di Indonesia. Namun, pelajaran berharga dari masa lalu tidak boleh dilupakan. Kebijakan monopoli yang dijalankan dengan praktik culas hanya akan merugikan rakyat kecil dan merusak perekonomian secara keseluruhan. Pengalaman pahit petani cengkih di masa Orde Baru harus menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya transparansi, keadilan, dan keberpihakan terhadap kepentingan rakyat dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Kini, tantangan bagi pemerintah adalah bagaimana memastikan bahwa praktik culas seperti yang dilakukan BPPC tidak terulang kembali. Perlindungan terhadap petani dan pelaku usaha kecil harus menjadi prioritas, agar mereka dapat berkontribusi secara maksimal terhadap perekonomian nasional. Regulasi yang transparan dan adil, serta pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kebijakan, adalah kunci untuk menciptakan tata niaga yang sehat dan berkeadilan.

Sejarah cengkih di masa Orde Baru mengajarkan kita banyak hal. Pentingnya kebijakan yang berpihak pada rakyat, bahaya dari praktik monopoli, dan dampak buruk dari korupsi serta ketidakadilan adalah pelajaran yang harus diingat. Dengan belajar dari masa lalu, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi petani cengkih dan seluruh rakyat Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code