Kita patut bertanya, apa sebenarnya yang mendorong angka pertumbuhan ini melonjak? Banyak pihak menilai tidak ada kejadian ekonomi besar sepanjang April hingga Juni 2025 yang mampu mendongkrat pertumbuhan ekonomi sampai melewati angka 5%. Ini membuat sejumlah pengamat mempertanyakan validitas data yang dirilis.
Salah satu sorotan tajam datang dari kalangan ekonom independen yang menilai terdapat beberapa kejanggalan. Pertama, pertumbuhan industri pengolahan yang dilaporkan mencapai 5,68% dianggap tidak selaras dengan kondisi riil. Selama periode tersebut, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur justru berada di bawah 50, yang menandakan kontraksi sektor industri. Bahkan, laporan mengenai peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebesar 32% selama semester pertama tahun 2025 ini memperkuat dugaan bahwa sektor industri tidak sedang dalam kondisi ekspansif.
Kedua, konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 4,96%. Ini nyaris stagnan dibandingkan triwulan sebelumnya, namun secara mengejutkan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Apalagi, indeks keyakinan konsumen justru menurun, yang semestinya mengindikasikan pelemahan daya beli.
Ketiga, investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) memang dilaporkan meningkat hingga 6,99%. Namun sekali lagi, peningkatan ini tidak diiringi dengan penguatan indikator pendukung seperti PMI. Jika industri tidak berekspansi, apakah mungkin investasi tumbuh secara signifikan?
Dari sisi pemerintah, tidak ada yang dianggap janggal. Pemerintah menyatakan bahwa semua komponen ekonomi telah dihitung sesuai prosedur dan metodologi resmi. Mereka juga menepis segala dugaan adanya manipulasi atau permainan data. Namun penjelasan ini belum cukup meredam rasa penasaran publik.
Kita sebagai warga negara berhak mendapatkan informasi yang jujur dan transparan tentang kondisi ekonomi. Angka pertumbuhan ekonomi bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari kenyataan yang kita hadapi sehari-hari. Apabila pertumbuhan ekonomi benar-benar membaik, seharusnya kita bisa merasakannya dalam bentuk lapangan kerja yang membaik, harga yang stabil, dan daya beli yang menguat.
Namun jika yang kita rasakan justru sebaliknya, sulitnya mencari pekerjaan, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan melemahnya daya beli, maka wajar jika muncul rasa curiga terhadap data yang disampaikan. Oleh karena itu, kita perlu mendorong agar lembaga seperti BPS tetap menjaga independensi dan keterbukaan metodologi. Jika tidak, maka angka setinggi apapun akan menjadi sekadar ilusi statistik belaka. Dan sesungguhnya, statistik tidak bisa berbohong, statistikawan-lah yang bisa berbohong!
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!