Ad Code

Ekonomi Secangkir Kopi


BAGI banyak dari kita, hari belum benar-benar dimulai sebelum menyeruput kopi. Tapi tahukah kita, di balik aroma harum dan kepulan uapnya, secangkir kopi menyimpan cerita besar tentang ekonomi? Dari kebun di dataran tinggi sampai cangkir di meja kita, kopi telah menjelma menjadi salah satu roda penggerak ekonomi nasional.

Menurut data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), konsumsi kopi di Indonesia pada 2024/2025 ini diperkirakan mencapai sekitar 4,8 juta kantong, dengan setiap kantong berisi 60 kilogram biji kopi hijau (green bean). Kalau dihitung, itu setara dengan 24,48 miliar cangkir kopi per tahun (dengan asumsi 10 gram kopi per cangkir dan kehilangan berat 15% saat disangrai). Artinya, hampir setiap hari, ada puluhan juta cangkir kopi yang berpindah tangan di negeri ini, dari warung pinggir jalan sampai coffee shop berpendingin udara dan cafe-cafe kekinian lainnya.

Sekarang, dapat kita bayangkan dalam rupiah. Kalau secangkir kopi di warkop atau secangkir seduhan kopi instan dijual seharga Rp4.000, maka total nilai pasar kopi nasional bisa mencapai Rp98 triliun per tahun. Naik sedikit ke harga kopi kafe menengah, sekitar Rp10.000 per cangkir, nilainya bisa Rp245 triliun. Dan di segmen premium dengan harga Rp25.000 per cangkir, perputaran uangnya menembus Rp612 triliun. Fantastis bukan? Angka-angka ini belum menghitung efek ekonomi lain di belakangnya, mulai dari petani, penggiling, pengepak, barista, hingga pemilik kafe.

Nah, di sinilah konsep multiplier effect atau efek pengganda bekerja. Sederhananya, setiap rupiah yang dibelanjakan untuk kopi tidak hanya berhenti di satu tangan. Uang itu akan berputar ke pemasok pupuk, pengangkut biji, penjual gelas atau cangkir, hingga penyedia jasa kebersihan kafe. Sebuah hasil studi di Jawa Timur misalnya, menunjukkan bahwa sektor kopi punya output multiplier sekitar 1,115. Artinya, setiap kenaikan permintaan sebesar Rp1 juta di sektor kopi bisa menambah total output ekonomi sebesar Rp1,115 juta. Kalau kita masuk ke sektor olahan seperti roasting dan kafe, angka ini bisa melonjak jadi 1,8 hingga 2,5 kali lipat.

Contohnya seperti ini: jika konsumsi kopi olahan di dalam negeri meningkat Rp1 triliun, maka total nilai ekonomi yang tercipta bisa mencapai Rp1,8–2,5 triliun, tergantung seberapa besar proses pengolahannya terjadi di dalam negeri. Semakin banyak kita mengolah biji kopi menjadi produk siap saji, semakin besar efek domino yang dirasakan.

Kita mungkin tidak menyadarinya, tapi setiap kali membeli kopi lokal, kita sebenarnya sedang mendukung banyak mata rantai ekonomi. Petani kopi di Wonosalam Jombang, tukang sangrai atau roaster di kota-kota besar, desainer kemasan, hingga barista di kafe-kafe, semuanya mendapatkan bagian dari secangkir kopi yang kita nikmati. Semakin banyak proses yang dilakukan di dalam negeri, semakin besar nilai tambah yang tertahan di sini, bukan di luar negeri.

Jadi, kopi bukan hanya tentang rasa pahit yang nikmat, tapi juga tentang peluang ekonomi yang manis. Dengan kebijakan yang mendukung hilirisasi, fasilitas pengolahan kecil-menengah, dan promosi kopi lokal, kita bisa menciptakan multiplier effect yang lebih besar. Dan sebagai konsumen, kita pun punya peran. Setiap kali kita memilih kopi lokal, kita sedang memutar roda ekonomi.

Bisa kita bayangkan, jika semua orang Indonesia minum kopi lokal setiap hari, bukan hanya petani yang tersenyum, tapi seluruh rantai ekonomi ikut bergeliat dan bergairah. Karena pada akhirnya, di balik setiap tegukan kopi, ada rezeki yang mengalir, pekerjaan yang tercipta, dan ekonomi yang tumbuh.

Begitulah. dari secangkir kopi yang kita seruput, tercipta sistem ekonomi secangkir kopi yang sangat kompleks. Selamat ngopi!

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code