Jika kita bandingkan dengan daerah lain di Jawa Timur, pola penurunan kemiskinan di Jombang tidak sepenuhnya unik. Banyak kabupaten mengalami penurunan kemiskinan, tetapi kualitas penurunannya berbeda. Misalnya, Jombang memiliki garis kemiskinan Rp 514.170 pada tahun 2024—lebih rendah dari rata-rata provinsi Jawa Timur sebesar Rp 536.122.
Garis kemiskinan yang lebih rendah bisa berarti dua hal, yaitu: Pertama biaya hidup yang relatif rendah dan kedua, kualitas konsumsi yang masih belum optimal. Sementara beberapa daerah lain seperti Surabaya dan Sidoarjo memiliki garis kemiskinan lebih tinggi, yang mencerminkan biaya hidup dan standar kebutuhan minimum yang juga naik seiring dengan struktur ekonomi yang lebih terdiversifikasi.
Jombang tampak lebih “terjangkau”, tetapi ini juga mengisyaratkan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar di wilayah ini masih berada pada tingkat minimal. Dengan kata lain, keberhasilan menurunkan jumlah penduduk miskin tidak serta merta berarti penduduk keluar dari kerentanan. Mereka hanya berada sedikit di atas garis kemiskinan yang relatif rendah.
Dari sudut kedalaman dan keparahan kemiskinan, Jombang menunjukkan perbaikan signifikan. Indeks kedalaman kemiskinan turun dari 1,73 pada 2020 menjadi 0,90 pada 2024, dan indeks keparahan turun dari 0,40 menjadi 0,17. Ini berarti kesenjangan antara pengeluaran penduduk miskin dan garis kemiskinan makin kecil, serta ketimpangan di antara kelompok miskin pun semakin menyempit. Namun kita perlu mengingat bahwa angka-angka ini tidak menggambarkan perubahan mobilitas sosial. Penduduk mungkin hanya bergerak dari “sangat miskin” menjadi “miskin ringan”, tapi belum mencapai rentang ekonomi yang lebih stabil.
Jika dibandingkan dengan beberapa kabupaten agraris di Jawa Timur seperti Lamongan atau Bojonegoro, Jombang memiliki profil berbeda. Di banyak daerah agraris, penduduk miskin didominasi oleh pekerja sektor pertanian yang rentan akibat fluktuasi harga dan cuaca. Sementara itu, data menunjukkan sebagian besar penduduk miskin di Jombang bekerja di sektor nonpertanian (35,63 persen pada 2024) yang terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Ini mengindikasikan pergeseran struktur ekonomi ke aktivitas jasa dan informal perkotaan. Namun dominasi sektor informal tetap menjadi masalah fundamental, sebab sektor ini umumnya tidak menawarkan perlindungan kerja atau jaminan pendapatan yang stabil.
Dalam konteks pendidikan, Jombang mencatat prestasi menarik. Angka melek huruf penduduk miskin usia produktif mencapai 100 persen pada 2024 dan partisipasi sekolah usia 7–15 tahun juga mencapai 100 persen. Ini menunjukkan semakin kuatnya fondasi literasi dasar. Bahkan jika dibandingkan dengan daerah tapal kuda yang masih berjuang meningkatkan partisipasi sekolah, capaian Jombang lebih kokoh. Namun, dominasi penduduk miskin yang hanya menamatkan pendidikan SD/SMP (61,70 persen) menunjukkan bahwa akses pendidikan lanjutan masih menjadi hambatan besar bagi mobilitas sosial.
Di sisi kesehatan, 38,95 persen penduduk miskin masih mengalami keluhan kesehatan, dan hanya 63,70 persen yang memiliki jaminan kesehatan. Ini menunjukkan bahwa masih ada celah besar dalam perlindungan sosial dasar, terutama jika dibandingkan dengan kota-kota besar seperti Malang atau Surabaya yang cakupan jaminan kesehatannya lebih tinggi. Ketika penduduk miskin masih enggan berobat karena biaya, maka produktivitas mereka pun terhambat.
Dalam aspek perumahan, Jombang menunjukkan peningkatan signifikan, dimana 88,37 persen rumah tangga miskin memiliki atap layak, 98,97 persen memiliki dinding layak, dan 90,23 persen memiliki lantai layak. Ini jauh lebih baik dibandingkan wilayah Jawa Timur lainnya seperti Situbondo atau Bondowoso yang masih mencatat lantai tanah dan sanitasi buruk pada tingkat lebih tinggi. Akses air layak mencapai 100 persen pada 2024, sebuah capaian yang luar biasa untuk ukuran kabupaten berbasis perdesaan.
Namun rangkaian perbaikan ini tidak boleh membuat lengah. Tantangan terbesar Jombang bukan sekadar menurunkan angka kemiskinan, melainkan mencegah penduduk berada dalam kondisi “rentan turun miskin”—sekelompok besar masyarakat yang hanya sedikit di atas garis kemiskinan dan mudah jatuh kembali jika menghadapi guncangan ekonomi.
Oleh karena itu, strategi penanggulangan kemiskinan ke depan harus bergeser dari pendekatan berbasis bantuan menuju pembangunan kapabilitas, yang meliputi peningkatan pendidikan menengah, penguatan sektor formal, perluasan jaminan kesehatan, dan reformasi struktural ekonomi desa. Kita tidak cukup hanya membuat angka statistik tampak membaik, namun kita perlu memastikan kehidupan masyarakat benar-benar berubah.


0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!