Ad Code

Idul Fitri dan Urbanisasi Kaum Tani


SUDAH
menjadi tradisi, selepas Idul Fitri orang-orang berbondong-bondong kembali ke kota setelah hampir sepekan berlebaran di kampung halaman. Tak jarang dari mereka juga membawa sanak saudara menjadi kaum urban baru demi meraih peruntungan di kota-kota besar. Tak dapat disangkal, sampai sekarang Jakarta dan kota-kota di sekitarnya masih tetap menjadi salah satu kota utama tujuan kaum urban untuk mengadu peruntungan.

Masalahnya, di Jakarta dan kota-kota di sekitarnya tersebut, kaum urban baru belum tentu langsung mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Apalagi jumlah kaum urban selalu melebihi daya tampung industri-industri yang ada di Jakarta maupun kota-kota sekitarnya itu. Akibatnya, tak sedikit dari kaum urban ini terlunta-lunta hingga menimbulkan kerawanan sosial dan masalah kompleks lainnya. Hal inilah setidaknya yang membuat pemerintah kota-kota tujuan kaum urban jauh-jauh hari sudah berancang-ancang merancang operasi yustisi untuk mengontrol jumlah penduduk yang masuk pasca Idul Fitri.

Pada dasarnya, penyebab itu semua tak lepas dari proses pembangunan yang melupakan desa. Selama ini pembangunan kita hanya gencar dan terfokus di kota-kota tertentu, sedangkan desa-desa banyak yang mengalami ketertinggalan. Kekurangan investasi modal, jeleknya infrastruktur, dan kurangnya sumberdaya manusia yang terlatih, adalah beberapa masalah yang dihadapi desa-desa di pelosok negeri ini.

Investasi modal di pedesaan selama ini pun cenderung eksploitatif terhadap sumberdaya alam dan mengabaikan posisi masyarakat desa. Akibatnya, sebagian besar nilai tambah atau keuntungannya hanya dinikmati para pemodal yang kebanyakan dari kota. Sebaliknya, justru masyarakat desa menanggung beban sosial-ekologi yang lebih besar dari pada manfaat ekonomi yang diterimanya.

Demikian juga, jeleknya infrastruktur sangat berpengaruh terhadap perekonomian di pedesaan. Infrastruktur jalan dan jasa transportasi yang jelek tentu menghambat sistem perdagangan. Dampaknya, peningkatan produksi pedesaan menjadi terhambat yang pada akhirnya juga menghambat kesempatan memperoleh pendapatan. Hal ini tentu bisa menjadi pemicu masyarakat desa mencari kerja ke perkotaan.

Contoh yang nyata adalah di bagian selatan Pulau Jawa yang masih banyak ditemui desa-desa dengan kondisi infrastruktur yang tak memadai bahkan terisolir. Padahal, kalau saja infrastruktur di pedesaan baik dan memadai, seperti jalan dan jasa transportasi, tidak saja akan melancarkan sistem perdagangan tetapi juga memungkinkan perusahaan-perusahaan yang lebih besar untuk masuk dan bersaing lebih efektif di pasar lokal.

Di sisi lain, akibat kurangnya akses teknologi dan informasi membuat kehidupan ekonomi pedesaan juga menjadi terbatas. Masyarakat desa tentu sulit meningkatkan produktivitasnya jika tidak diimbangi dengan penggunaan dan penguasaan teknologi baru yang tepat guna. Akibat informasi yang kurang, misalnya dalam penentuan harga komoditas pedesaan, seringkali harus tergantung pada para tengkulak. Hal seperti ini tentu menimbulkan peluang eksploitasi yang besar-besaran dan berkepanjangan.

Kembali ke Desa

Oleh karena itu, sudah saatnya kita harus kembali ke desa. Kembali ke desa tak hanya dalam pengertian fisik, melainkan juga mengubah paradigma berpikir tentang desa. Kembali ke desa dengan tujuan untuk membangun desa, bukan sekadar membangun di desa.

Membangun desa mencakup banyak hal, tidak hanya dalam bentuk bangunan fisik saja tetapi juga non-fisik. Pembangunan fasilitas pedesaan seperti fasilitas lembaga perkreditan dan lembaga keuangan lainnya, fasilitas pendidikan dan rekreasi maupun sistem transportasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa perlu dikembangkan. Fasilitas-fasilitas seperti ini sangat penting untuk meredam arus urbanisasi.

Kemudian, karena salah satu identitas desa kita  pada umumnya adalah pertanian, maka sektor pertanian harus mendapat perhatian utama dalam pembangunan. Pemberdayaan petani dan pertanian desa perlu dilakukan termasuk membuat kebijakan pembangunan infrastruktur dasar sebagai pendukungnya. Infrastruktur dasar ini meliputi pembangunan jalan-jalan desa, saluran irigasi, jembatan, listrik, kebijakan tata ruang, baik tata ruang untuk pertanian maupun industri pertanian, serta adanya insentif bagi industri pertanian dan perdagangan di kawasan pedesaan.

Disamping membangun pertanian, juga harus diiringi dengan upaya pengembangan industri kecil untuk lebih mengembangkan ekonomi rakyat kecil, misalnya melalui pengolahan hasil pertanian. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah suatu produk. Industri kecil, khususnya agroindustri yang banyak menyerap tenaga kerja harus diberdayakan dan dikembangkan melalui aplikasi teknologi tepat guna, dukungan modal, sarana dan prasarana, pelatihan industri kecil, akses informasi pasar, promosi dan perbaikan manajemen pemasaran.

Namun yang terpenting, semua upaya tersebut harus bermuara pada penciptaan iklim fisik dan ekonomi yang menghargai dan mengakomodir inisiatif dan kearifan lokal serta peningkatan sumber daya manusia. Tanpa ke arah ini, mustahil pembangunan akan menempatkan masyarakat desa sebagai subyek pembangunan. Alih-alih menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan, justru pembangunan cenderung menyisihkan masyarakat. Intinya, seperti kata Mubyarto (2000) bahwa membangun desa harus mampu memberdayakan masyarakat karena keberdayaan masyarakat akan meningkatkan kemandirian yaitu rasa percaya diri yang besar tanpa perlu menggantungkan diri pada pihak-pihak luar, baik pasokan sarana produksi maupun pemasaran hasil-hasil produksinya.

Alhasil, bila desa dengan segala potensinya dapat dikembangkan, selain sebagai sumber baru pertumbuhan ekonomi, juga untuk meredam gelombang urbanisasi. Ini terutama untuk generasi muda pedesaan, yang mempunyai kecenderungan lebih besar untuk meninggalkan desanya, akan berpikir kembali jika akan bermigrasi ke kota. Mereka akan lebih memilih menghidupkan desanya dengan segala potensi yang dimilikinya. Semoga!

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code