![]() |
| Air sebagai modal dasar kesejahteraan [Foto: pinterest] |
Al-Qur’an sejak awal telah menempatkan air sebagai elemen sentral kehidupan dan amanah ekonomi. Allah SWT berfirman, “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup” (QS. Al-Anbiya: 30). Ayat ini menegaskan bahwa air bukan sekadar komoditas, melainkan prasyarat seluruh aktivitas produksi dan keberlanjutan hidup. Dalam perspektif ekonomi sumber daya alam, air adalah modal dasar (natural capital) yang menentukan kesejahteraan kita.
Secara alamiah, air beredar melalui siklus hidrologi: menguap, mengembun, turun sebagai hujan, lalu mengalir kembali ke laut. Namun, siklus ini semakin terganggu akibat kerusakan lingkungan. Deforestasi, alih fungsi lahan, dan eksploitasi berlebihan membuat air hujan tidak lagi tersimpan sebagai cadangan, melainkan berubah menjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Ini menunjukkan bahwa krisis air bukan krisis alam, melainkan krisis tata kelola.
Data menunjukkan bahwa lebih dari 97 persen air di bumi adalah air asin, sementara air tawar yang dapat dimanfaatkan manusia jumlahnya sangat terbatas. Di Indonesia, sebagian besar air masih digunakan untuk sektor pertanian, disusul kebutuhan rumah tangga dan industri. Namun pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan ekspansi industri menyebabkan kebutuhan air meningkat jauh lebih cepat daripada kemampuan alam menyediakannya. Akibatnya, di beberapa wilayah, terutama pulau-pulau padat penduduk, air telah menjadi faktor pembatas pertumbuhan ekonomi.
Al-Qur’an juga mengingatkan kita agar tidak melakukan pemborosan dalam pemanfaatan sumber daya. “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al-A’raf: 31). Prinsip ini sangat relevan dalam ekonomi air. Ketika air diperlakukan sebagai barang murah dan tak terbatas, pemborosan menjadi wajar. Padahal, setiap liter air yang terbuang hari ini adalah biaya sosial dan lingkungan yang harus kita tanggung di masa depan.
Selain kelangkaan, kualitas air juga menjadi masalah serius. Pencemaran dari limbah rumah tangga, pertanian, dan industri menurunkan nilai ekonomi air. Air yang tercemar membutuhkan biaya besar untuk diolah, bahkan kehilangan fungsinya sama sekali. Dalam konteks ini, pencemaran bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga inefisiensi ekonomi. Sumber daya yang seharusnya produktif justru berubah menjadi beban.
Implikasi krisis air sangat luas. Kekurangan air bersih berdampak pada kesehatan, menurunkan produktivitas tenaga kerja, dan memperbesar biaya hidup. Pencemaran air laut juga mengancam sektor perikanan, merugikan nelayan, dan melemahkan ketahanan pangan. Semua ini menunjukkan bahwa pengelolaan air yang buruk akan selalu berujung pada ketimpangan sosial dan ekonomi.
Karena itu, air harus kita tempatkan sebagai amanah, bukan semata-mata komoditas. Al-Qur’an mengingatkan, “Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu khalifah di bumi” (QS. Al-An’am: 165). Sebagai khalifah, kita bertanggung jawab mengelola air secara adil, efisien, dan berkelanjutan. Menghemat air, melindungi daerah tangkapan hujan, serta mengendalikan pencemaran bukan hanya tindakan ekologis, tetapi juga strategi ekonomi jangka panjang.
Air adalah penopang kehidupan dan keadilan ekonomi. Cara kita mengelolanya hari ini akan menentukan apakah air menjadi sumber kemakmuran bersama, atau justru pemicu krisis bagi generasi yang akan datang. Karena sejatinya air itu bukan sekadar komoditi saat ini, tetapi titipan generasi nanti.


0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!