Ad Code

Menjadi Pasukan Nasi Bungkus, Mengapa Tidak?


NASI Bungkus! Ya, beberapa hari terakhir ini sepertinya nama nasi bungkus sedang naik daun. Bukan karena terbungkus dengan daun pisang atau daun jati yang tentunya akan memberikan sensasi luar biasa pada rasa dan aromanya, atau karena harganya yang beberapa kali ikutan-ikutan naik akibat kenaikan bahan-bahan lain (cabai, bawang merah, bawang putih, dan sebagainya), tetapi lebih karena adanya puisi yang nyindir dengan nyinyir yang dibuat oleh tokoh (katanya) sebuah gerombolan atau partai politik.

Baiklah, saya tak hendak menulis tentang tulisan dari tokoh sebuah gerombolan itu. Saya bukanlah anggota sebuah gerombolan ataupun partai politik. Namun demikian, saya adalah pendukung semua calon presiden, kalaupun mendukung personal capres tertentu, nanti saja di hari H-nya secara riil akan saya buktikan dengan ikut mencoblos gambar capres ideal pilihan saya. Siapa capres ideal saya? Tentu saja itu tak mungkin saya utarakan atau saya geber di sini. Juga tak mungkin saya beritahukan kepada orang lain.

Kembali ke soal nasi bungkus. Ada beberapa alasan mengapa saya memilih menjadi “pasukan” nasi bungkus, setidaknya ada alasan teknis dan ekonomisnya. Pertama, Praktis. Sebagai seorang pencangkul yang seringkali berpindah-pindah, konsumsi dengan nasi bungkus lebih praktis dibanding dengan misalnya memasak sendiri. Kita tak perlu repot-repot dan harus menyediakan peralatan masak yang banyak. Paling standar hanya menyediakan piring dan sendok. Meskipun demikian, tanpa piring dan sendok pun sebenarnya kita tetap bisa menikmati nasi bungkus.

Kedua, Banyak Penjualnya. Di sekitar tempat tinggal saya banyak sekali penjual nasi bungkus yang bahkan berkeliling sampai sudut-sudut kompleks dan menghampiri kita hingga depan pintu. Ini tentu sangat memudahkan. Kita seolah menjadi raja yang paling dimanjakan sedunia, mau makan saja sudah ada yang mengantar makanan.

Ketiga, Harganya Murah. Harga nasi bungkus umumnya relatif murah. Saat ini harga rata-rata nasi bungkus (nasi goreng) sekitar Rp. 10.000,- untuk di Kota Malang. Bahkan mungkin ada yang lebih murah lagi, misal di Jombang ada Sego Sadukan atau kalau di Jogjakarta semacam Sego Kucing (Nasi Kucing) yang harganya sekitar 3.000,- rupiah. Sangat murah bukan? Dan tentu ini sesuai dengan kantong saya, kantong seorang pencangkul, bukan kantong politikus atau kantong Gayus, juga bukan makelar impor sapi, apalagi kantong seorang kolektor keris.

Nah, itu beberapa alasan mengapa saya menikmati atau menjadi “pasukan” nasi bungkus. Namun yang jelas uang yang saya pakai untuk membeli nasi bungkus itu adalah hasil keringat sendiri, hasil mencangkul sendiri, bukan hasil dari orang lain, apalagi pemberian pengurus sebuah gerombolan maupun partai politik. Juga bukan hasil mencuri atau mengkorup, apalagi imbalan menculik dan menghilangkan hak-hak orang lain atau hasil rekayasa-rekayasa lain untuk kepentingan orang lain. Sekali lagi, pilihan saya menjadi anggota “pasukan” nasi bungkus hanya persoalan teknis dan terutama karena persoalan ekonomi. Dan sebagai anggota pasukan nasi bungkus, saya tak ada kaitannya dengan gerombolan atau partai politik apapun yang bisa mengendalikan saya. 

Sementara itu, jenis-jenis nasi bungkus yang terkadang atau bahkan sering saya nikmati diantaranya: Pertama, Nasi Goreng. Nasi goreng yang dibungkus seringkali saya nikmati ketika sore atau malam hari. Saya biasa membeli pada penjual yang “ngetem” di dekat rumah kost yang saya sewa. Dengan harga sekitar 10.000,- rupiah dengan lauk telur sudah cukup untuk bisa mengganjal perut orang kost seperti saya. Penjual nasi goreng keliling ini umumnya orang Lamongan atau setidaknya orang Jawa Timur.

Kedua, Nasi Padang. Jenis nasi bungkus ini sepertinya yang paling sering saya nikmati. Bukan tanpa sebab, masakan padang sepertinya sudah sangat mengindonesia, ada dimana-mana. Rasanya pun mudah diterima oleh lidah orang Indonesia dan juga lauknya variatif. Seringkali di siang hari sepulang mencangkul saya singgah di rumah makan padang dan memesan sebungkus nasi untuk dinikmati di tempat kost. Di Malang, harga sebungkus nasi padang bervariasi, berkisar antara 11.000,- sampai 20.000,- rupiah, tergantung lauk yang digunakan.

Ketiga, Pecel Sayur. Menu yang ini seringnya saya nikmati pada pagi hari. Kalau dibungkus pembungkusnya adalah daun pisang, kalaupun terpaksa memakai bungkus dari pabrikan, dalamnya tetap memakai daun pisang. Sejak tinggal di Jombang, Bogor, Malang, dan kota-kota di luar Jawa, menu ini seolah menjadi santapan yang tak pernah meninggalkan lidah saya. Bahkan ketika di Bogor, saya punya langganan tetap yang kebetulan penjualnya orang Jawa Timur. Pecel yang disajikan benar-benar menggoda dan membuat saya tetap setia menjadi pelanggannya. Kala itu tahun 2000-an di Bogor harganya Rp. 5000,-, sementara harga Nasi Padang masih sekitar Rp. 3000-an.

Untuk sementara itu varian nasi bungkus yang yang seringkali menemani kehidupan saya. Sebagai “pasukan” nasi bungkus, tentu kalau ada yang mengatakan bahwa selera saya murahan, bagi saya tak ada masalah, karena itu adalah kehidupan nyata saya. Saya tak bisa merekayasa masalah “selera saya” untuk menjadi seperti “selera orang-orang” atau “selera mereka”. Dalam kajian ilmu ekonomi pun khususnya ekonomi konsumsi, persoalan selera adalah persoalan personal yang orang lain tidak bisa turut campur, meskipun orang lain bisa menjadi referensi pilihan. Seperti halnya memilih caleg atau bahkan presiden, itu adalah persoalan personal yang orang lain juga tak boleh ikut campur meskipun orang lain itu bisa menjadi referensi.

Jadi biarlah saya memilih sesuai dengan selera saya, mau nasi bungkus, nasi kotak, nasi prasmanan, tentu saya punya referensi sendiri dalam menentukan pilihan. Dan hanya orang pandir saja yang suka nyinyir dan menyindir selera orang lain atau memaksa selera dan pilihannya kepada orang lain!

Posting Komentar

9 Komentar

  1. Saya juga penikmat nasi bungkus...secara anak kost gitu lhoh..
    Dan tiap Jumat pagi saya dan teman2 atas donasi dari teman2 juga membagikan nasi bungkus untuk kaum dhuafa di jalan2 di Semarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya juga anak kost mbak :) Wah bisa ditiru "amalan jumat"nya!

      Hapus
  2. Ada yang nyebut nasi bungkus itu sego sadukan lho Mas.. mungkin karena dibungkus bentuknya jadi seperti bola yang bisa disaduk haha..
    Nasi bungkus yang paling murah saya temui di Surabaya harganya Rp. 3.000, lauknya campur-campur.. ikannya tinggal pilih mau telur, ayam ato daging. Tapi ya gitu porsinya hanya cukup buat 5 suapan..
    Eh ngomong-ngomong isi puisinya apa sih Mas, kok akhir-akhir ini rame puisi nyinyir untuk nyerang golongan (partai) tertentu.. *kepo manis* :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sudah nyebut "Sego Sadukan" pada tulisan di atas Mbak Yuni he he he ..... Itu nama populer di Jombang :)

      Hapus
  3. Dulu waktu masih di desa (Ngronggot-Nganjuk-Jatim) sy sering ikut pengajian dan nasi bungkus pasti menjadi menu yg disiapkan warga untuk para jama'ah.. Bisa makan nasi bungkus bersama dg jama'ah lain adalah suatu kebahagian tersendiri bagi saya.. Begitu juga kalau lg di sawah pasti nasi bungkuslah yang selalu menjadi menu sarapan pagi, tapi sekarang suasana seperti itu jarang sekali saya dapati di sini di kota S, walaupun tiap hari makan nasi bungkus tapi terasa ada yang kurang.. aahhh... aku jadi rindu suasana desaku yang dulu..

    BalasHapus
  4. Wah..., dadi kelingan sego sadukan rek nek ngene iki, hehehe...

    BalasHapus
  5. Terlalu ini,,,,,, sudah bikin nafsu makan saya jadi Naik :D

    BalasHapus
  6. sego kucing pan neng njogja, murah sich tp gak bisa bikin kenyang akhire nambah-2 liyani akhiri yo ora hemat hehehe

    BalasHapus

Thanks for your visiting and comments!

Ad Code