Ad Code

Booming Berkebun di Rumah: Fenomena Pandemi yang Berlanjut?

Berkebun di rumah [Foto: IStockphoto]

PANDEMI COVID-19 membawa berbagai perubahan besar dalam kehidupan kita. Tidak hanya dalam hal kesehatan dan mobilitas, tetapi juga dalam kebiasaan sehari-hari yang sebelumnya dianggap biasa saja. Salah satu fenomena menarik yang muncul di masa pandemi adalah meningkatnya minat masyarakat terhadap berkebun di rumah. Aktivitas yang dulu dianggap sebagai hobi orang tua atau pekerjaan tambahan kini menjadi tren yang digandrungi berbagai kalangan, mulai dari anak muda, ibu rumah tangga, hingga para pekerja kantoran yang menjalani sistem kerja dari rumah.

Ketika pemerintah menerapkan pembatasan aktivitas dan kita semua diharuskan tetap di rumah, banyak orang mulai mencari cara untuk mengisi waktu. Kebun di halaman rumah, pot-pot di balkon, hingga tanaman hidroponik di dapur mulai bermunculan sebagai hasil dari kreativitas dan kebutuhan untuk tetap produktif. Kita tidak hanya ingin mengisi waktu luang, tetapi juga mencari cara untuk merasa dekat dengan alam, menjaga kesehatan mental, dan tentu saja, menghasilkan sumber pangan sendiri di tengah ketidakpastian ekonomi.

Menanam cabai, tomat, kangkung, bahkan jahe dan kunyit menjadi rutinitas baru yang menyenangkan. Banyak dari kita yang sebelumnya tidak pernah menyentuh tanah kini merasa bangga saat panen perdana hasil kebun sendiri. Rasa percaya diri pun meningkat, terutama ketika kita mampu mencukupi sebagian kebutuhan dapur tanpa harus keluar rumah. Aktivitas ini juga menjadi sarana edukasi bagi anak-anak kita, yang kini lebih mengenal bagaimana makanan bisa tumbuh dari tanah dan air, bukan hanya dari rak supermarket.

Tren ini didukung oleh maraknya konten berkebun di media sosial. Banyak orang membagikan pengalaman berkebunnya melalui foto dan video, menciptakan komunitas virtual yang saling menyemangati dan bertukar tips. Kita saling belajar bagaimana menyemai biji, mencampur kompos, hingga mengatasi hama secara alami. Tidak sedikit juga yang mulai memanfaatkan teknologi, seperti aplikasi pemantau cuaca atau sistem penyiraman otomatis sederhana, untuk membuat kebun kecil kita semakin efisien.

Fenomena ini tidak hanya memberikan manfaat psikologis dan edukatif, tetapi juga berdampak positif secara ekonomi. Berkebun di rumah bisa membantu kita menghemat pengeluaran harian. Sayuran dan bumbu dapur yang biasanya kita beli kini bisa dipetik langsung dari halaman atau dapur sendiri. Bahkan, beberapa orang mulai menjual hasil kebun mereka dalam skala kecil, baik di lingkungan sekitar maupun secara daring. Hal ini menunjukkan bahwa berkebun bukan hanya aktivitas iseng, tetapi bisa menjadi bagian dari strategi ketahanan ekonomi rumah tangga.

Namun, pertanyaannya kini adalah: apakah fenomena berkebun ini akan berlanjut setelah pandemi mereda? Apakah kita masih akan menyempatkan diri untuk merawat tanaman ketika kehidupan kembali sibuk dan mobilitas meningkat? Jawabannya tergantung pada sejauh mana kita telah menjadikan berkebun sebagai bagian dari gaya hidup, bukan hanya sebagai pelarian sesaat dari kebosanan. Jika kita sudah merasakan manfaatnya secara langsung, besar kemungkinan kebiasaan ini akan terus bertahan, meskipun mungkin dengan intensitas yang berbeda.

Di sisi lain, pemerintah dan berbagai pihak juga bisa ikut berperan agar semangat berkebun ini tidak padam. Dukungan berupa pelatihan urban farming, bantuan bibit, atau akses terhadap lahan pekarangan bisa menjadi insentif berkelanjutan bagi masyarakat. Program ketahanan pangan berbasis keluarga juga bisa diperkuat dengan menggandeng komunitas berkebun yang sudah terbentuk selama pandemi. Kita sebagai warga juga bisa berkontribusi dengan menjaga semangat ini tetap hidup melalui kegiatan bersama, pertukaran tanaman, atau sekadar berbagi hasil kebun kepada tetangga.

Berkebun di rumah bukan hanya tentang tanaman, tetapi juga tentang harapan dan kemandirian. Di tengah ketidakpastian, kita belajar bahwa kita mampu menciptakan sesuatu, menjaga kehidupan, dan menemukan kebahagiaan dari hal-hal yang sederhana. Mungkin selama ini kita terlalu sibuk, terlalu terjebak dalam rutinitas, hingga lupa bahwa tangan kita bisa menumbuhkan kehidupan.

Kini, saat pandemi mulai mereda, mari kita jaga semangat berkebun ini. Kita tidak harus memiliki lahan luas atau pengetahuan tinggi. Yang kita butuhkan hanyalah kemauan untuk mencoba, belajar dari kesalahan, dan menikmati setiap prosesnya. Jika sebelumnya kita menanam karena takut kekurangan, sekarang kita bisa menanam karena sadar akan pentingnya ketahanan pangan dan koneksi dengan alam.

Berkebun bukan lagi sekadar tren pandemi, melainkan gerakan kecil yang bisa mengubah cara kita hidup. Dengan menanam, kita tidak hanya menumbuhkan tanaman, tetapi juga harapan, ketenangan, dan kebijaksanaan. Maka, mari terus berkebun, bukan karena terpaksa, tetapi karena kita telah menemukan kembali salah satu bentuk kehidupan yang paling mendasar, yaitu menumbuhkan sesuatu dengan tangan sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code