Ad Code

Teori Engel dan Persoalan Ekonomi Konsumsi Kita Hari Ini

KETIKA bicara soal pangan, kita tidak bisa lepas dari persoalan ekonomi konsumsi. Bagaimana kita membelanjakan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan makan, menggambarkan lebih dari sekadar pilihan pribadi—ia mencerminkan struktur sosial, ketimpangan pendapatan, bahkan keberpihakan kebijakan negara terhadap rakyat. Di sinilah relevansi teori Engel menjadi sangat penting. Teori klasik yang dikemukakan oleh Ernst Engel pada abad ke-19 ini menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang, maka proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pangan terhadap total pendapatan akan semakin kecil. Sementara bagi kelompok berpenghasilan rendah, sebagian besar pendapatannya akan habis untuk membeli pangan.

Dalam konteks Indonesia saat ini, kita melihat bagaimana pola konsumsi masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh pendapatan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa rumah tangga dengan pengeluaran rendah (40% terbawah) mengalokasikan sekitar 56% belanjanya untuk makanan. Sementara itu, rumah tangga dengan pengeluaran tertinggi (20% teratas) hanya mengalokasikan sekitar 34% untuk pangan. Bahkan untuk kelompok masyarakat tertentu, pengeluaran pangan ada yang sampai lebih dari 70%. Pola ini mengonfirmasi teori Engel dan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat kita masih hidup dalam tekanan kebutuhan dasar, terutama pangan.

Kita harus melihat data ini bukan sekadar statistik, tapi sebagai panggilan untuk menata ulang kebijakan pangan nasional. Ketika pangan masih menyerap lebih dari separuh pendapatan sebagian besar rakyat, maka itu artinya daya beli mereka sangat terbatas. Biaya pendidikan, kesehatan, transportasi, dan perumahan menjadi prioritas sekunder. Akibatnya, kualitas hidup secara keseluruhan tetap rendah dan kemiskinan bersifat struktural. Kita perlu mencermati bagaimana ekonomi konsumsi masyarakat harus dibenahi agar pola pengeluaran bisa lebih seimbang dan pembangunan manusia bisa bergerak ke arah yang lebih baik.

Persoalan berikutnya adalah bagaimana kebijakan negara merespons kenyataan ini. Pemerintah memang telah meluncurkan berbagai program bantuan pangan seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), bantuan beras 10 kg untuk masyarakat miskin, hingga subsidi pangan melalui operasi pasar. Namun, pendekatan semacam ini sering kali bersifat jangka pendek dan tidak menyentuh akar masalah. Ketika harga-harga pangan bergejolak akibat cuaca ekstrem, gagal panen, atau disrupsi rantai pasok global, masyarakat miskin tetap menjadi korban utama karena pengeluaran mereka untuk pangan sangat besar. Dengan demikian, diperlukan kebijakan pangan yang lebih struktural, tidak hanya bersifat bantuan sosial sesaat.

Kita juga perlu mempertimbangkan diversifikasi pangan sebagai bagian dari strategi jangka panjang. Saat ini, konsumsi masyarakat masih didominasi oleh beras. Data dari Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa konsumsi beras nasional mencapai 96 kg per kapita per tahun pada 2023, jauh di atas konsumsi jagung (18 kg) dan umbi-umbian (9 kg). Ketergantungan pada satu komoditas membuat ketahanan pangan rentan. Jika harga beras naik atau terjadi gagal panen, maka dampaknya akan langsung terasa di meja makan masyarakat. Pemerintah harus mendorong konsumsi pangan alternatif seperti jagung, sorgum, dan singkong melalui pendidikan gizi dan subsidi yang adil.

Lebih lanjut, kita perlu mengaitkan teori Engel dengan agenda pembangunan ekonomi nasional. Ketika pengeluaran untuk pangan semakin kecil seiring naiknya pendapatan, maka masyarakat bisa mulai mengalokasikan dana untuk investasi pendidikan, usaha produktif, dan kegiatan ekonomi lain yang memberi nilai tambah. Oleh karena itu, meningkatkan pendapatan masyarakat kecil melalui skema pemberdayaan ekonomi, pelatihan kerja, dan dukungan UMKM akan membawa dampak ganda, yaitu mengurangi tekanan terhadap pengeluaran pangan sekaligus mempercepat mobilitas sosial.

Dalam realiitanya, banyak negara telah memanfaatkan teori Engel sebagai indikator kesejahteraan. Negara-negara maju seperti Jerman, Prancis, dan Jepang rata-rata hanya menghabiskan sekitar 10–13% dari pendapatan rumah tangganya untuk pangan. Bandingkan dengan negara-negara berkembang yang rata-rata masih berada di kisaran 40–60% bahkan lebi dari 70%. Maka, jika kita ingin menuju Indonesia Emas 2045, kita harus serius menurunkan rasio pengeluaran pangan melalui kebijakan jangka panjang yang menjamin keterjangkauan harga, stabilitas pasokan, dan peningkatan pendapatan rakyat.

Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap pola konsumsi yang berubah akibat globalisasi. Konsumsi makanan instan, makanan cepat saji, dan minuman berpemanis meningkat drastis terutama di kalangan urban dan milenial. Meskipun secara nominal porsi pengeluaran untuk pangan menurun, kualitas gizi yang dikonsumsi belum tentu meningkat. Ini menjadi tantangan baru, yaitu bagaimana mendorong perubahan pola konsumsi tidak hanya dari sisi jumlah, tapi juga dari sisi kualitas. Pendidikan gizi dan pelabelan pangan yang informatif harus menjadi prioritas dalam kebijakan pangan ke depan.

Kita harus menyadari bahwa pangan adalah wajah paling nyata dari ekonomi konsumsi rakyat. Teori Engel memberi kita cermin bahwa kemiskinan itu bukan sekadar tentang berapa yang dimiliki, tapi berapa banyak yang harus dibelanjakan untuk bisa bertahan hidup. Oleh karena itu, kebijakan pangan yang efektif bukan hanya soal ketersediaan beras murah, tetapi juga soal memastikan setiap keluarga bisa makan dengan layak, bergizi, dan tetap punya cukup ruang untuk kebutuhan lain yang membuat hidup lebih sejahtera. Kita membutuhkan perubahan, dan perubahan itu dimulai dari cara kita memahami kembali makna pangan dalam sistem ekonomi kita.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code