![]() |
Buku Ida Nyoman Ayu Rai: Ibu Bangsa [Foto: Dokumen Pribadi] |
BULAN Juni selalu menjadi bulan istimewa bagi bangsa Indonesia. Di bulan inilah sosok besar Proklamator, Ir. Soekarno, lahir, wafat, sekaligus menyampaikan pidato monumental tentang Pancasila. Tak hanya itu, bulan ini juga menjadi momen refleksi terhadap perjalanan hidup Bung Karno yang ternyata menyimpan teka-teki, terutama soal tempat kelahirannya.
Jika selama ini diskusi soal kelahiran Bung Karno terpatok pada dua titik besar, yaitu Blitar dan Surabaya, kini muncul percik baru dari sebuah daerah di pinggiran aliran Sungai Brantas, yaitu Ploso, Jombang. Daerah yang dulu hanya disebut sepintas lalu dalam biografi Sang Proklamator, kini mendapat sorotan baru dari berbagai kalangan, terutama dari penelusur, peminat dan penikmat sejarah, budayawan, akademisi, sampai kalangan politisi pun tertarik mengulitinya. Bahkan beberapa tahun terakhir, termasuk di bulan Juni 2025 ini, secara intens berbagai forum, seminar dan diskusi digelar untuk membahas terkait tempat kelahiran Bung Karno sesungguhnya yang mulai mengerucut ke Ploso, Jombang.
Namun, jauh sebelum diskusi maupun forum tersebut digelar, sesungguihnya ada pemantik diskusi terkait kontroversi kelahiran Bung Karno di Ploso Jombang. Adalah Guru Besar Universitas Darul 'Ulum (UNDAR) Jombang, Prof. Dr. Tadjoer Ridjal, yang membuat tulisan dengan judul judul "Ida Ayu Nyoman Rai di Ploso" dan yang termuat dalam buku bunga rampai dengan judul “Ida Ayu Nyoman Rai: Ibu Bangsa". Dalam tulisannya tersebut, dipaparkan kisah perpindahan ayah Bung Karno, R. Soekeni Sosrodihardjo, ke Ploso di penghujung tahun 1901. Tulisan itu menjadi sangat menarik, karena untuk pertama kalinya secara akademik menyajikan versi berbeda mengenai tempat dan tahun kelahiran Soekarno.
Kepindahan tersebut berdasarkan beslit No. 16232 tanggal 28 Desember 1901 yang ditandatangani Direktur Pendidikan Peribadatan dan Kerajinan Pemerintah Hindia Belanda diangkat sebagai Mantri Guru (Kepala Sekolah) di Sekolah Kelas Dua atau SekoIah Angka Loro di Ploso, Surabaya. Empat bulan kemudian, pada 12 Mei 1902, keluar beslit yang menetapkan gajinya menjadi f. 50 (Gulden). Pada tahun 1901 sampai 1907 R. Soekeni menetap di Ploso sebagai Mantri Guru Sekolah Kelas II dengan gaji sebesar f. 50 (Gulden). Dan dari situlah cerita bergulir. Dengan menaiki sepur kluthuk dari Surabaya ke Jombang, lalu lanjut ke Ploso, keluarga kecil ini memulai babak baru, babak yang luput dari catatan sejarah populer.
Prof. Tadjoer menelusuri jejak keluarga Soekeni di Ploso berdasarkan dokumen dan narasi yang selama ini tercecer dan berserakan. Menariknya, ia menampilkan dokumen pribadi tulisan tangan R. Soekeni yang menyatakan bahwa anak keduanya, Koesno — nama kecil Bung Karno — lahir pada 6 Juni 1902, bukan 1901, sebagaimana disebut di banyak buku sejarah selama ini. Dan tentu saja, jika benar 1902, maka Soekarno lahir di Ploso Jombang, bukan di Surabaya. Sebab, pada waktu itu, R. Soekeni tengah aktif mengajar di daerah tersebut berdasar beslit No. 16232.
![]() |
Tulisan R. Soekeni [Foto: Repro Buku] |
Data tersebut juga sama dengan yang tertulis di buku induk Institut Teknologi Bandung tempat Bung Karno menimba ilmu di perguruan tinggi, yang menyebutkan bahwa Bung Karno lahir di Surabaya pada 6 Juni 1902. Adapun data tentang Soekarno terdapat pada halaman 55. Di lembar itu jelas terbaca geboorteplaats atau kota lahir Bung Karno adalah Soerabaia. Keterangan di atasnya menyebutkan, Bung Karno dilahirkan 6 Juni 1902. Penulisan tahun lahir 1902—yang berbeda dari versi resminya 1901—di masa kini kerap memantik penafsiran ulang tentang tahun lahir Bung Karno, bahkan juga kota lahirnya.
![]() |
Catatan pada buku induk ITB [Foto: lib.itb.ac.id] |
Memang, jika mengacu pada berbagai sumber resmi, Surabaya disebut sebagai kota kelahiran Soekarno. Namun, apabila dokumen pribadi R. Soekeni dijadikan rujukan, maka besar kemungkinan Soekarno lahir pada 6 Juni 1902 di Ploso. Hal ini masuk akal karena pada tahun tersebut, R. Soekeni sedang bertugas di Ploso, yang kini termasuk wilayah Kabupaten Jombang. Nyoman Rai Srimben, sebagai istri yang setia, tentu selalu mendampingi sang suami selama bertugas di Ploso dan melahirkan Bung Karno.
Tulisan tangan R. Soekeni tersebut menguatkan dugaan bahwa tempat kelahiran Soekarno sebenarnya adalah Ploso. Meski demikian, jika masih ada yang menyebut Surabaya sebagai tempat kelahirannya, hal itu tidaklah salah dan bisa dimaklumi. Sebab, pada masa Hindia Belanda, Ploso merupakan bagian dari wilayah Kawedanan yang berada dalam Karesidenan Surabaya. Ini sejalan dengan Surat Keputusan penugasan R. Soekeni yang menyatakan bahwa ia bertugas di Ploso, Surabaya antara tahun 1901 hingga 1907. Namun, dalam konteks geografis dan administratif saat ini, Ploso sudah menjadi kecamatan di Kabupaten Jombang.
Tulisan Guru Besar Undar Jombang, Prof. Dr. Tadjoer Ridjal, untuk mengangkat data ini adalah langkah penting dalam menata ulang mozaik sejarah nasional. Sejarah bukan monolit, tapi kumpulan lapisan-lapisan tafsir yang terus berkembang. Dan catatan berjudul “Ida Ayu Nyoman Rai di Ploso” menjadi bagian dari upaya membongkar narasi dominan yang terlalu mapan. Kita sebagai bangsa seharusnya menyambut diskusi ini dengan terbuka. Tidak untuk membongkar tugu atau mengganti prasasti secara terburu-buru, melainkan memberi tempat pada keragaman data dan kemungkinan sejarah lain yang sebelumnya terabaikan.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!