![]() |
Potret pengikut ajaran samin di Blora, Jawa Tengah [Foto: Ist/Net via harapanrakyat.com] |
KITA hidup di zaman di mana pajak menjadi darah yang mengalirkan kehidupan negara. Namun, bagaimana jika aliran itu tak lagi adil? Bagaimana jika penguasa memungut pajak tanpa rasa tanggung jawab terhadap rakyat yang membayar? Inilah titik di mana kita perlu menengok kembali ajaran Samin atau saminisme, yang pernah menjadi simbol perlawanan paling membumi di tanah Jawa.
Samin Surosentiko dan para pengikutnya, yang hidup di Blora dan sekitarnya, dulu melakukan perlawanan tanpa mengankat senjata. Mereka memilih jalan yang sunyi tapi tajam, yaitu menolak membayar pajak dan menolak tunduk pada perintah kolonial. Bukan karena mereka malas, bukan pula karena anti-kemajuan, tetapi karena mereka tahu penguasa saat itu tak mengabdi pada rakyat. Boikot pajak menjadi bahasa politik yang sederhana tapi menghantam langsung ke jantung kekuasaan.
Bayangkan, di tengah represi Belanda, kaum Samin tetap bekerja di sawah mereka, tetap hidup seperti biasa, tapi tidak memberi sepeser pun kepada penguasa yang menindas. Perlawanan ini bukan sekadar urusan ekonomi, ini adalah pernyataan moral, bahwa kekuasaan yang tidak adil tidak layak didanai. Saminisme mengajarkan bahwa kita punya hak untuk berkata “tidak” ketika negara gagal menjaga kesejahteraan rakyatnya.
Hari ini, situasinya memang berbeda. Kita tidak hidup di bawah kolonial Belanda. Namun, aroma ketidakadilan dalam penggunaan pajak masih kadang menusuk. Kejadi di Pati beberapa hari lalu adalah cermin itu semua. Belum lagi di daerah-daerah lain, termasuk Jombang yang tak kalah ugal-ugalan kenaikan pajaknya, bisa jadi akan menjadi bom waktu layaknya Pati. Ditambah lagi di hampir di pelosok negeri, jalan rusak bertahun-tahun, pelayanan publik yang lamban, proyek besar yang lebih menguntungkan segelintir orang, semua ini membuat kita bertanya, untuk siapa sebenarnya pajak kita? Apakah untuk membangun negeri atau untuk menggemukkan lingkaran kekuasaan?
Di sinilah ajaran saminisme relevan kembali. Ia mengingatkan kita bahwa kepatuhan membayar pajak adalah kontrak sosial. Bila kontrak itu dilanggar oleh penguasa, rakyat berhak mempersoalkannya. Perlawanan tidak selalu berarti kekerasan; ia bisa lahir dari kesadaran kolektif, dari keberanian bertanya, dari menuntut transparansi, dan bila perlu, dari menghentikan dukungan finansial pada sistem yang bobrok.
Kita tidak sedang menyerukan anarki. Kita sedang menyerukan kesadaran. Boikot pajak ala Samin bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk mengembalikan marwah kekuasaan agar berpihak pada rakyat. Saminisme adalah cermin bahwa rakyat biasa pun bisa melawan, bahkan tanpa senjata, tanpa kekerasan, cukup dengan tidak menyerahkan hasil jerih payah kepada tangan yang salah.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita masih punya keberanian itu? Ataukah kita memilih diam, membayar, dan berharap penguasa berubah dengan sendirinya? Saminisme memberi jawaban yang tegas, perubahan lahir dari perlawanan, dan perlawanan itu lahir dari kita sendiri.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!