Ad Code

Krisis Iklim dan Masa Depan Pangan Kita

Dampak kemarau panjang [Foto:okezone]

DALAM beberapa dekade terakhir, dunia menyaksikan perubahan iklim yang semakin nyata. Kita mengalami musim yang tak menentu, curah hujan ekstrem, suhu yang meningkat, dan bencana alam yang lebih sering terjadi. Fenomena ini bukan sekadar isu lingkungan semata, tetapi juga mengancam masa depan pangan kita secara langsung. Krisis iklim adalah ancaman serius terhadap keberlanjutan sistem pangan dan ekonomi pertanian, terutama di negara-negara agraris seperti Indonesia.

Kita perlu menyadari bahwa sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim. Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa perubahan pola curah hujan menyebabkan keterlambatan musim tanam hingga 1-2 bulan di berbagai daerah pada 2024 lalu. Bahkan, menurut laporan FAO dan IPCC, sekitar 80% petani kecil di dunia—termasuk di Indonesia—mengalami dampak negatif dari perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian mereka.

Di Indonesia, komoditas pangan utama seperti padi, jagung, dan kedelai kini menghadapi risiko gagal panen yang lebih tinggi. Ketika curah hujan terlalu tinggi, lahan menjadi tergenang dan benih busuk. Sebaliknya, kekeringan panjang mengeringkan sawah dan ladang. Pada 2023, Kementerian Pertanian mencatat bahwa lebih dari 50 ribu hektare sawah di Jawa Tengah mengalami kekeringan yang menyebabkan gagal panen dan menurunnya stok beras nasional.

Kondisi ini berdampak langsung terhadap ketersediaan dan harga pangan. Saat produksi menurun, pasokan berkurang dan harga melonjak. Kita merasakan ini dalam bentuk harga beras yang naik hingga Rp16.000 per kilogram di beberapa wilayah awal 2024. Tentu masyarakat yang berpenghasilan rendah menjadi pihak yang paling terdampak, karena proporsi belanja pangan mereka jauh lebih besar dibanding kelompok lain.

Krisis iklim juga memperparah ketimpangan ekonomi di sektor pertanian. Petani kecil, yang sebagian besar hanya memiliki lahan di bawah 0,5 hektare, tidak memiliki cukup sumber daya untuk beradaptasi. Mereka tidak mampu membeli teknologi irigasi modern, pupuk ramah lingkungan, atau benih tahan iklim. Ketergantungan terhadap cuaca menjadikan mereka kelompok yang paling rentan di tengah krisis ini.

Kita tidak bisa menunda solusi. Adaptasi dan mitigasi harus menjadi agenda utama dalam kebijakan pertanian. Pemerintah perlu mendorong pengembangan sistem pertanian yang lebih tangguh terhadap iklim. Salah satu contohnya adalah penggunaan varietas padi tahan kekeringan seperti Inpari 42 Agritan GSR, yang dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian dan sudah terbukti mampu bertahan di lahan-lahan marginal.

Selain itu, sistem pertanian presisi berbasis data cuaca dan kelembapan tanah juga mulai dikembangkan di beberapa daerah seperti di Banyuwangi dan Kulon Progo. Sistem ini membantu petani menentukan waktu tanam dan pemupukan secara lebih tepat, sehingga risiko gagal panen dapat dikurangi. Namun, akses terhadap teknologi ini masih terbatas dan perlu diperluas.

Perlu juga penguatan peran kelompok tani dan koperasi sebagai basis adaptasi. Kita bisa melihat keberhasilan koperasi petani kopi di Aceh Gayo yang mampu membangun sistem peringatan dini cuaca dan pemantauan kelembapan tanah secara kolektif. Inisiatif semacam ini bisa menjadi model penguatan kelembagaan petani dalam menghadapi krisis iklim.

Krisis iklim juga mendorong perlunya diversifikasi pangan. Kita tidak bisa terus bergantung pada beras sebagai satu-satunya sumber karbohidrat utama. Umbi-umbian, sorgum, dan sagu adalah alternatif pangan lokal yang tahan terhadap cuaca ekstrem. Pemerintah telah memulai program diversifikasi ini, namun perlu edukasi lebih luas agar masyarakat terbiasa dan mau beralih.

Kita sebagai konsumen pun memiliki peran penting. Pola konsumsi yang lebih berkelanjutan, seperti membeli produk lokal dan musiman, dapat mengurangi jejak karbon dalam sistem pangan. Masyarakat urban juga bisa mendukung gerakan pertanian kota (urban farming) yang tidak hanya menambah pasokan pangan, tetapi juga menyerap karbon dan memperbaiki iklim mikro perkotaan.

Krisis iklim adalah realitas yang akan terus membentuk wajah pertanian dan pangan kita di masa depan. Namun, dengan langkah kolektif yang serius dan terukur, kita masih bisa menavigasi tantangan ini. Kunci utamanya adalah kolaborasi—antara petani, peneliti, pemerintah, swasta, dan masyarakat. Pertanian yang adaptif terhadap iklim bukan hanya tentang produksi pangan, tetapi tentang menjaga keberlanjutan hidup kita semua.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code