![]() |
| Hutan Homogen [Foto: iStock] |
Indonesia masih memiliki sekitar 92 juta hektare kawasan hutan menurut KLHK 2023, angka yang terlihat besar tetapi terus tertekan oleh deforestasi yang konsisten. Laju kehilangan hutan primer pada 2022–2023 tercatat sekitar 257 ribu hektare per tahun. Angka ini memang jauh menurun dibandingkan era 1990-an—ketika kita pernah menyandang predikat negara dengan laju deforestasi tercepat di dunia—tetapi tetap mengindikasikan bahwa nilai ekonomi jangka pendek masih lebih dominan dibandingkan keberlanjutan.
Dari perspektif ekonomi sumber daya alam, kondisi ini menggambarkan dilema klasik: trade-off antara pertumbuhan ekonomi cepat dan kelestarian ekologis. Sektor kehutanan memang memberikan kontribusi penting—menciptakan lapangan kerja, menyumbang devisa nonmigas, dan menggerakkan industri turunan seperti kayu, kertas, hingga biomassa energi. Tetapi ketika kapasitas industri perkayuan terus meningkat, sementara kemampuan hutan memasok kayu secara lestari tidak sebanding, kita memasuki jebakan overcapacity yang sudah diingatkan Bank Dunia sejak dekade 1990-an. Industri butuh 60 juta m³ kayu, tetapi kapasitas regenerasi hutan alam hanya separuhnya. Sisanya? Mengalir dari praktik ilegal atau mendorong konversi besar-besaran.
Hal ini menjelaskan mengapa permasalahan kehutanan bukan hanya soal ekologi, tetapi ekonomi politik. Kita pernah melihat bagaimana hak pengusahaan hutan (HPH) menjadi lahan subur korupsi di masa lalu, dari jatah elite hingga konglomerasi besar. Pola-pola ekonomi ekstraktif seperti ini meninggalkan warisan panjang: ketimpangan akses masyarakat adat, degradasi lingkungan, hingga kerugian fiskal negara akibat pembalakan liar dan tata kelola yang lemah. Tahun 2024, problem ini belum tuntas—meski banyak reformasi kebijakan telah dilakukan, termasuk program Perhutanan Sosial yang kini mencakup lebih dari 6,5 juta hektare.
Di tengah situasi ini, kita perlu menempatkan hutan sebagai modal ekologis, bukan sekadar bahan baku industri. Nilai ekonominya tidak hanya terletak pada kayu, tetapi juga pada jasa lingkungan: penyimpanan karbon, regulasi air, wisata alam, dan keanekaragaman hayati. Indonesia memegang 10% keanekaragaman hayati dunia—sebuah modal yang bila dikelola secara berkelanjutan, dapat menghasilkan nilai ekonomi jauh lebih besar daripada praktik tebang habis.
Kini kita dituntut untuk beralih dari logika eksploitasi ke logika regenerasi. Ekonomi kehutanan masa depan adalah ekonomi restorasi—rehabilitasi hutan, agroforestri, perdagangan karbon, bioekonomi berbasis non-kayu, serta penguatan hak masyarakat adat yang terbukti mampu menjaga hutan lebih baik daripada banyak korporasi.
Jika kita ingin memastikan generasi mendatang masih melihat rimbun hutan Indonesia, maka perubahan harus dimulai dari kesadaran bahwa hutan bukan sekadar sumber daya, tetapi fondasi hidup kita sekaligus titipan generasi mendatang. Tanpa hutan, tidak ada ekonomi yang mungkin berlangsung. Tanpa hutan, tidak ada masa depan.


0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!