Ad Code

Ijazah dari Lorong Kepanduan

DI sebuah kota yang selalu tampak sibuk meski jam belum menunjukkan pukul tujuh pagi, hiduplah seorang lelaki bernama Jatmiko Wiratama. Semua orang mengenalnya sebagai sosok bersenyum ramah, berbicara manis, dan selalu tampak tenang di depan kamera. Namun di balik sikap itu, ia menyimpan rahasia yang telah ia rawat bertahun-tahun—sebuah ijazah sarjana yang tak pernah lahir dari ruang kuliah mana pun.

Polemik itu bermula pada tahun 2014, ketika Jatmiko maju dalam pemilihan kepala negara. Di layar televisi, ia selalu berdiri tegap, menjelaskan perjalanan hidupnya dengan penuh keyakinan. Namun beberapa orang mencurigai ijazah yang ia sodorkan sebagai bukti pendidikan. Nama pada ijazah tertulis Jatmika, bukan Jatmiko. Nomor ijazahnya ganjil, tinta dan materainya tampak berbeda. Yang lebih aneh, foto pada ijazah menampilkan Jatmiko memakai kacamata aviator besar, padahal aturan kampus pada era itu melarang foto mahasiswa dengan aksesoris wajah.

Desas-desus itu sempat mereda, tapi tak pernah benar-benar mati. Tahun 2019, para lawannya kembali menanyakan keaslian dokumen itu. “Tunjukkan ijazah aslinya!” seru mereka. 

Namun Jatmiko hanya tertawa kecil. “Salinannya saja cukup,” jawabnya. Sorot matanya tetap tenang, seolah tak ada yang mampu mengguncang dirinya.

Pada tahun 2022, seorang penulis eksentrik bernama Bramanto Triwibowo menggugatnya ke pengadilan. Ia yakin betul bahwa ijazah itu palsu. Namun gugatan ditolak, dan universitas yang disebut sebagai almamater Jatmiko pun mengeluarkan klarifikasi bahwa Jatmiko adalah lulusan sah. Meski begitu, bisik-bisik kecurigaan semakin membesar.

Setahun kemudian, 2023, gugatan serupa muncul dari lembaga kecil bernama Cahaya Purnama. Sama seperti sebelumnya, gugatan itu berakhir di tong sampah pengadilan. Orang-orang pun kembali sibuk dengan urusan mereka masing-masing—kecuali mereka yang yakin bahwa ada sesuatu yang janggal.

Puncaknya terjadi pada 2025. Seorang mantan dosen tipikal kutu buku, Rosman Siregar, muncul dengan analisis teknis yang tak disangka-sangka. “Font pada skripsi dan ijazah ini adalah Times New Roman. Tahun delapan puluhan belum ada!” katanya di sebuah forum. Rekaman pernyataannya viral seketika. Publik gaduh. Massa berdatangan ke kampus, sebagian lagi mengepung rumah Jatmiko. Mereka berteriak meminta kejujuran.

Jatmiko tetap bergeming. “Saya hanya akan menunjukkan ijazah asli jika diperintahkan pengadilan,” ujarnya sambil tersenyum, seolah tak ada badai yang sedang melanda.

Namun badai itu akhirnya membuka tabir yang ia jaga selama ini.

Di lorong belakang Pasar Kepanduan, sebuah kios kecil bernama Percetakan Maju Sentosa pernah menerima pesanan istimewa pada tahun 2013. Pemilik kios, Pak Gento, masih mengingatnya. Seorang lelaki berjubah rapi datang membawa foto lama—foto Raden Jatmiko muda memakai kacamata aviator—dan meminta dibuatkan ijazah “mirip kampus ternama”.

“Buatkan tiga rangkap. Bahannya yang tebal, yang kayak kertas ijazah asli itu,” pinta lelaki tersebut.

Ketika pengadilan akhirnya memeriksa ulang dokumen Jatmiko, segalanya terbuka. Tinta yang memudar tak sesuai era, kertasnya buatan lokal, dan nomor ijazah ternyata rangkaian angka acak yang hanya terdengar meyakinkan.

Jatmiko tersenyum ketika putusan dibacakan. Bukan senyum kemenangan, tapi senyum seseorang yang tahu bahwa kebohongannya akhirnya runtuh.

Ia memang pintar bicara. Pintar menenangkan. Pintar memutar kata. Tapi seperti semua dusta, pada akhirnya ia kalah oleh waktu—dan oleh ijazah yang lahir bukan dari ruang kuliah, melainkan dari lorong pasar yang bau tinta dan debu.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code