![]() |
| Diskusi dan Bedah Buku [Foro: JPNN] |
Kita hidup di negeri yang mengaku demokratis, tetapi sering kali gagap menghadapi perbedaan gagasan. Diskusi buku, yang seharusnya menjadi aktivitas intelektual paling jinak dan wajar, justru diperlakukan seolah ancaman. Padahal, buku adalah medium berpikir, dan diskusi adalah cara kita mengolah nalar secara kolektif. Ketika keduanya dicurigai, maka yang sedang dipertaruhkan bukan keamanan, melainkan kebebasan akal sehat.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk berpikir. Sejak awal peradaban, kita bertahan dan berkembang bukan karena kekuatan otot, tetapi karena kemampuan bertanya, meragukan, dan mendiskusikan. Ruang diskusi publik adalah tempat manusia menjalankan kodrat tersebut. Maka, ketika diskusi dibubarkan atas dasar kecurigaan ideologis atau ketakutan yang kabur, kita sedang menyaksikan upaya mereduksi manusia menjadi sekadar objek yang patuh, bukan subjek yang bernalar.
Alasan klasik yang kerap digunakan adalah soal izin dan ketertiban. Namun kita tahu, aturan administratif sering kali menjadi tameng untuk membenarkan pembatasan yang sesungguhnya bersifat politis. Jika setiap kegiatan intelektual harus tunduk pada selera kekuasaan lokal, maka demokrasi kita berubah menjadi prosedural semata, miskin substansi. Demokrasi tanpa diskusi hanyalah ritual lima tahunan, bukan proses sehari-hari.
Yang lebih mengkhawatirkan, pembubaran diskusi menciptakan efek gentar. Kita mulai berpikir dua kali untuk berdiskusi, membaca, atau mengundang narasumber yang dianggap “sensitif”. Lama-kelamaan, sensor tidak lagi datang dari luar, tetapi tumbuh di dalam diri kita sendiri. Inilah bentuk penjinakan paling efektif: ketika manusia berhenti berpikir karena takut.
Padahal, berpikir kritis tidak identik dengan kekacauan. Justru sebaliknya, masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang terbiasa berdialog, menguji gagasan, dan mengelola perbedaan secara terbuka. Diskusi publik adalah katup pengaman sosial. Dengan berbicara, kita mencegah prasangka menumpuk. Dengan berdiskusi, kita menghindari ledakan emosi yang lahir dari pembungkaman.
Kita perlu jujur mengakui bahwa ketakutan terhadap diskusi menunjukkan rendahnya kepercayaan pada kedewasaan warga. Seolah-olah rakyat tidak mampu memilah gagasan, sehingga harus dilindungi dengan cara dibungkam. Logika ini berbahaya. Ia menempatkan kekuasaan sebagai satu-satunya penafsir kebenaran, sementara warga diposisikan sebagai penerima pasif.
Peristiwa di Madiun seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Bukan soal satu buku atau satu penulis, tetapi tentang masa depan ruang berpikir di negeri ini. Jika diskusi buku saja bisa dibubarkan, lalu di mana kita akan belajar berbeda pendapat? Di mana kita akan mengasah nalar kolektif?
Menjaga ruang diskusi berarti menjaga kemanusiaan kita sendiri. Sebab ketika manusia dilarang berpikir, yang lahir bukan ketertiban, melainkan kepatuhan kosong. Dan bangsa yang besar tidak dibangun oleh kepatuhan semata, tetapi oleh keberanian berpikir bersama.


0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!