Ad Code

Menelisik APBD Jombang 2026: Besar Angkanya, Kecil Dampaknya?


APBD Jombang 2026 kembali disahkan beberapa hari yang lalu dengan angka yang tidak kecil. Total belanja daerah berada di kisaran Rp2,7 triliun lebih, sementara pendapatan daerah diproyeksikan lebih rendah sehingga memunculkan defisit yang ditutup melalui pembiayaan. Di atas kertas, angka ini menunjukkan optimisme pemerintah daerah. Namun jika kita menelisik lebih dalam, persoalan utama bukan terletak pada besar-kecilnya anggaran, melainkan pada arah dan kualitas belanja itu sendiri.

Kita sering mendengar visi besar kepala daerah tentang perubahan, kesejahteraan, dan pemerataan pembangunan. Visi tersebut seharusnya diterjemahkan secara konkret dalam struktur APBD. Sayangnya, APBD 2026 masih memperlihatkan pola lama, dimana belanja rutin tetap dominan, sementara belanja yang benar-benar mendorong transformasi ekonomi dan sosial belum tampak menonjol. Ketika anggaran lebih banyak terserap untuk biaya birokrasi, maka publik wajar bertanya, di mana letak keberpihakan pada kebutuhan riil masyarakat?

Defisit anggaran juga patut menjadi perhatian bersama. Ketergantungan pada SiLPA dan pembiayaan lain menunjukkan bahwa strategi peningkatan pendapatan asli daerah belum digarap serius. Kita seolah nyaman dengan pola tambal sulam, bukan membangun fondasi fiskal yang kuat. Padahal, tanpa kemandirian fiskal, janji pembangunan berkelanjutan hanya akan menjadi slogan lima tahunan.

Kita juga perlu mengkritisi orientasi program yang cenderung populis dan jangka pendek. Insentif, bantuan, dan program simbolik memang mudah dipahami publik dan cepat mendongkrak popularitas. Namun, jika tidak disertai desain kebijakan yang matang, program semacam ini hanya bersifat konsumtif dan tidak menciptakan dampak ekonomi jangka panjang. Pembangunan desa, misalnya, semestinya diarahkan pada penguatan ekonomi lokal, peningkatan kapasitas SDM, dan penciptaan nilai tambah, bukan sekadar pembagian fasilitas.

Persoalan lain adalah transparansi dan partisipasi. Dokumen anggaran memang tersedia, tetapi masih sulit dipahami oleh publik awam. Kita membutuhkan APBD yang komunikatif, mudah diawasi, dan membuka ruang partisipasi warga sejak tahap perencanaan. Tanpa itu, anggaran hanya menjadi urusan elit birokrasi dan politik, jauh dari kontrol masyarakat.

APBD sejatinya adalah cermin keberpihakan. Dari sanalah kita bisa melihat siapa yang diutamakan dan siapa yang terpinggirkan. APBD Jombang 2026 memberi kita sinyal bahwa pekerjaan rumah masih banyak. Kita belum melihat lompatan kebijakan yang benar-benar berani dan progresif. Jika kondisi ini dibiarkan, maka visi besar daerah akan terus tereduksi menjadi rutinitas administratif.

Ke depan, kita berharap APBD tidak lagi dipandang sebagai sekadar dokumen keuangan, melainkan sebagai kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat. Anggaran harus menjawab persoalan nyata: kemiskinan, pengangguran, ketimpangan desa-kota, serta kualitas layanan publik. Tanpa perubahan paradigma itu, APBD sebesar apa pun tidak akan membawa Jombang melangkah lebih jauh.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code