KETIKA musim liburan seperti saat ini, kita sering mendengar cerita tentang kenaikan harga yang mendadak di berbagai tempat atau destinasi wisata, mulai dari tiket masuk, harga makanan, hingga tarif jasa lokal. Fenomena ini tak hanya dirasakan oleh wisatawan asing, tetapi juga oleh wisatwan lokal atau domestik. Apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa inflasi bisa tampak “mendadak” ketika kita berada di destinasi liburan favorit?
Pertama, mari kita lihat gambaran besar pariwisata di Indonesia saat ini. Sektor ini sedang dalam fase kebangkitan pascapandemi, dengan jumlah wisatawan asing dan domestik yang terus meningkat. Data dari World Travel & Tourism Council menunjukkan bahwa pengeluaran wisatawan internasional di Indonesia diproyeksikan mencapai rekor sekitar Rp 344 triliun tahun 2025, meningkat hampir 12 % dibandingkan tahun 2024. Kontribusi sektor ini terhadap PDB diperkirakan mencapai 5,5 % dari total ekonomi Indonesia.
Namun, di balik angka positif tersebut, kita merasakan lonjakan harga yang tak jarang membuat kantong kaget. Inflasi yang dialami di tempat wisata seringkali lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional yang terukur secara umum. BPS mencatat bahwa inflasi nasional pada September 2025 mencapai sekitar 0,21 % secara bulanan dengan inflasi tahunan 2,65 %. Tetapi ketika kita tiba di destinasi wisata, realitas harga bisa sangat berbeda.
Misalnya, di Yogyakarta pada akhir tahun lalu (Desember 2024), inflasi lokal mencapai 0,46 % dalam sebulan, dipicu oleh lonjakan wisatawan selama momen Natal dan Tahun Baru. Kenaikan harga pangan seperti cabai merah, telur ayam, dan tomat—komoditas yang terkait erat dengan konsumsi wisatawan—memberikan andil signifikan terhadap inflasi lokal ini.
Mengapa demikian? Sederhananya, ketika permintaan terhadap barang dan jasa meningkat pesat dalam waktu singkat—misalnya saat liburan panjang—penawaran seringkali tidak mampu memenuhi. Pedagang yang melihat peluang ini cenderung menaikkan harga, sementara pasokan komoditas tertentu mungkin terbatas karena faktor musim atau distribusi. Hasilnya tentu kita menghadapi "inflasi mendadak" atau "inflasi musiman" di lokasi wisata yang terasa lebih melangit daripada rata-rata inflasi nasional.
Kondisi ini diperparah oleh beberapa fenomena lain di tempat wisata kita. Selain inflasi, praktik pungutan liar atau pemalakan terhadap wisatawan kerap muncul di beberapa destinasi wisata, menambah beban biaya yang harus kita keluarkan. Hal-hal semacam ini kadang tak tercatat dalam statistik resmi, tapi langsung terasa oleh kita saat berlibur.
Namun, tidak semua daerah mengalami tekanan harga yang sama hebat. Data inflasi kota seperti Bandung justru menunjukkan angka yang relatif terkendali—sekitar 0,46 % month-to-month dan 2,53 % year-on-year pada Oktober 2025—meskipun kunjungan wisata meningkat secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi di tempat wisata sangat bergantung pada manajemen lokal, kesiapan pasokan, dan kebijakan pengendalian harga.
Mungkin bagi sebagian kita yang liburannya hanya musiman dan sesekali saja, sering dibuat terkejut ketika tiba di lokasi wisata dan mendapati harga makanan, tiket, atau suvenir jauh lebih tinggi dari ekspektasi. Fenomena ini sebenarnya adalah cermin dari dinamika ekonomi mikro yang sedang berlangsung, dimana permintaan yang melonjak cepat, keterbatasan pasokan lokal, dan kadang perilaku pelaku pasar yang memanfaatkan momen.
Jadi, intinya bahwa inflasi mendadak di destinasi wisata adalah fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh beragama faktor. Tentu di setiap liburan kita ingin bisa menikmati tempat-tempat wisata tanpa harus merasa “tertipu harga.” Apa yang kita alami di destinasi favorit sering kali merupakan gambaran nyata bagaimana ekonomi bekerja di depan mata kita sendiri, seru sekaligus bikin terharu!


0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!