
Dalam doktrin normatifnya, puasa bagi kaum muslim adalah sebuah kewajiban. Seperti dalam QS. Al Baqarah 183, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Nah, hanya orang-orang yang beriman saja yang diperintahkan untuk berpuasa.
Puasa adalah suatu bentuk penyembahan khusus antara hamba dan Allah sebagai Tuhannya, karena hanya Allah yang mengetahui niat puasa seseorang. Tak seorangpun mengetahui apakah seseorang berpuasa untuk memberi kesan atau citra ketakwaan kepada orang-orang sekitarnya ataukah untuk maksud lain di luar tujuan mulia yang utama. Orang yang berpuasa diberi imbalan sebagai amalan sesuai dengan apa yang ada dalam pandangan Allah.
Benarkah Puasa untuk Allah?
Dalam sebuah hadits muttafaqun alaihi disebutkan bahwa dengan berpuasa seseorang lebih merasakan kedekatan dengan Allah, “Seluruh amal ibadah anak Adam baginya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan balasannya”. Saking besarnya manfaat puasa bagi manusia, sampai-sampai Allah mengatakan begitu.
Tetapi benarkah Allah membutuhkan puasa kita? Barangkali, seperti menurut Emha Ainun Nadjib (1995) pernyataan itu semacam diplomasi cinta-Nya kepada kita. Allah ingin menekankan betapa sangat pentingnya puasa bagi kesehatan dan keselamatan manusia, sehingga Allah menggunakan semacam ”taktik psikologis” dengan mengakui bahwa puasa itu untuk diri-Nya.
Secara psikologis, manusia mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan perintah Allah jika perintah itu dianggap tak mempunyai manfaat yang terlihat kasat mata, semacam puasa ini. Lain halnya kalau kita diperintahkan sholat. Sholat jelas dan bisa dilihat orang lain semisal calon mertua, mertua, kekasih dan lain-lain, sehingga kita bisa membangun citra dan "memamerkan" ketakwaan kita kepada mereka.
Sementara kalau puasa, siapa yang tahu kalau kita puasa atau tidak selain diri kita dan Sang Pencipta. Siapa yang bisa menjamin ketika puasa di siang bolong kita nyolong makanan dan menyantapnya di bawah kolong meja. Atau nyolong sesuatu yang bukan hak kita dan menyembunyikannya di balik meja. Makanya, karena begitu pentingnya puasa bagi kehidupan manusia, sampai-sampai Allah memberi iming-iming dengan bahasa psikologis seperti itu. Jadi masihkah Allah butuh puasa kita?
Akhirnya, mudah-mudahan puasa kita kali ini bukan sekadar ritual individual, sekadar ritual ”persembahan” kepada Allah. Puasa yang tidak menjadikan kita orang asing, karena meskipun kita berpuasa tetapi terkadang masih kurang berempati dengan saudara-saudara kita yang lapar dan dilaparkan. Dengan puasa kali ini semoga mampu menumbuhkan kembali kesadaran hati nurani untuk ikut berpuasa sehingga puasa kita benar-benar penuh makna dan mampu menciptakan dan memendarkan kesalehan sosial kita. Amin!
Marhaban ya Ramadhan!
Artikel terkait:
1. Memoar Ramadhan di Kampung