DI tengah pesatnya kemajuan industri dan teknologi, kita semakin sering lupa bahwa bumi ini bukan milik kita semata, melainkan warisan untuk generasi mendatang. Namun, seakan ada sosok tak kasat mata yang terus merusak, mengeksploitasi, dan mengeringkan sumber daya bumi tanpa belas kasih. Sosok ini tak lain adalah apa yang bisa kita sebut sebagai "Dajjal Lingkungan" —bukan makhluk mitologis atau eskatologis, melainkan simbol dari kerakusan dan ketimpangan ekologis yang diciptakan oleh sistem ekonomi modern dan gaya hidup konsumtif manusia.
Dajjal dalam berbagai narasi digambarkan sebagai makhluk bermata satu. Dalam konteks lingkungan, "satu mata" ini melambangkan cara pandang yang sempit—berpusat pada keuntungan jangka pendek dan pertumbuhan ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan keberlanjutan dan keadilan ekologis. Kita hanya melihat dari satu sisi: kapital, keuntungan, dan kenyamanan. Mata yang lain—yang semestinya melihat dampak terhadap alam, makhluk hidup, dan tatanan sosial—telah tertutup rapat oleh kerakusan.
Bayangkan satu pabrik sawit yang membabat hutan tropis demi perluasan lahan. Di atas kertas, pertumbuhan ekonomi meningkat. Tapi di balik angka itu, ada paru-paru dunia yang habis terbakar, satwa liar kehilangan habitat, dan masyarakat adat terusir dari tanah leluhur mereka. Di sinilah dajjal lingkungan bekerja dengan menjual mimpi kemakmuran dengan cara merampas kehidupan.
Kita bisa melihat contoh nyata dalam krisis lingkungan di Kalimantan dan Sumatra. Data WALHI tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 1,6 juta hektare hutan hilang dalam lima tahun terakhir akibat ekspansi industri ekstraktif. Laju deforestasi ini tak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga memperparah krisis iklim global. Fenomena ini bukan lagi sekadar statistik, melainkan teriakan sunyi dari bumi yang sedang sekarat.
Ironisnya, dajjal lingkungan sering berkamuflase sebagai penyelamat. Proyek-proyek besar yang mengklaim “ramah lingkungan” seperti greenwashing justru memperparah masalah. Dengan modal citra hijau, perusahaan-perusahaan besar terus mengeksploitasi sumber daya dengan dalih pembangunan berkelanjutan. Mereka menyisipkan satu mata dalam setiap laporan keberlanjutan, tapi lupa melihat kenyataan di lapangan.
Kita harus sadar bahwa dajjal lingkungan bukan sesuatu di luar sana—ia juga bisa hidup dalam diri kita sendiri. Ketika kita abai membuang sampah sembarangan, membeli produk fast fashion tanpa berpikir panjang, atau berdiam diri saat terjadi perusakan lingkungan, kita telah ikut memberi tenaga bagi dajjal itu untuk terus hidup. Kita menjadi bagian dari mata yang menutup mata lainnya.
Sudah saatnya kita menyalakan kembali mata yang tertutup—mata nurani dan kesadaran ekologis. Menjadi manusia yang tidak hanya melihat dari sisi keuntungan, tapi juga dari sisi keberlangsungan. Kita bisa memulainya dari hal-hal kecil misalnya mengurangi penggunaan plastik, mendukung pertanian lokal, menggunakan transportasi ramah lingkungan, hingga terlibat aktif dalam advokasi lingkungan.
Perjuangan melawan dajjal lingkungan bukan hanya tanggung jawab aktivis atau lembaga internasional. Ini adalah tugas kita bersama sebagai manusia yang tinggal di bumi yang sama, menghirup udara yang sama, dan menikmati keindahan yang sama. Jika kita membiarkan satu mata itu terus mengendalikan cara kita melihat bumi dan alam semesta, maka tak lama lagi kita akan menyaksikan akhir dari ekosistem yang telah menopang kehidupan kita. Mari kita buka mata yang lainnya, sebelum semuanya benar-benar gelap!
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!