SAAT ini kita hidup di tengah era yang penuh ketidakpastian. Krisis iklim, konflik geopolitik, hingga disrupsi rantai pasok global telah menguji ketahanan ekonomi banyak negara, termasuk Indonesia. Di tengah tantangan tersebut, isu kedaulatan pangan kembali mencuat sebagai topik strategis. Bukan sekadar soal swasembada beras, melainkan tentang bagaimana kita membangun sistem pangan yang adil, tangguh, dan berpihak pada rakyat—terutama petani. Kedaulatan pangan bukan sekadar idealisme, tapi jalan konkret untuk membangkitkan ekonomi dari akar rumput.
Indonesia sejatinya negeri agraris. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan sekitar 29,4% penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Namun ironisnya, ketergantungan terhadap impor pangan justru meningkat. Menurut data Kementerian Pertanian, impor komoditas strategis seperti kedelai, bawang putih, dan gandum terus melonjak. Pada 2023, impor gandum Indonesia mencapai 11,5 juta ton—terbesar di Asia Tenggara. Padahal, potensi lahan dan tenaga kerja lokal sangat melimpah.
Ketergantungan terhadap impor ini menjadi ancaman serius bagi kedaulatan pangan. Jika pasokan global terganggu, harga dalam negeri ikut melonjak. Kita telah menyaksikan fenomena ini pada 2022 ketika konflik Rusia-Ukraina memicu lonjakan harga gandum, minyak nabati, dan pupuk di pasar dunia. Dampaknya sangat terasa di Indonesia, mulai dengan kenaikan harga pangan, daya beli rakyat melemah, dan inflasi pangan melesat hingga 7,9% pada Agustus 2022 (BPS, 2022). Kedaulatan pangan menjadi ujian nyata dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Kita tidak bisa hanya mengandalkan pasar bebas. Konsep kedaulatan pangan mengajak kita untuk memprioritaskan produksi pangan dalam negeri, melindungi petani kecil, dan memperkuat sistem distribusi lokal. Ini bukan berarti menutup diri dari perdagangan global, melainkan menempatkan kepentingan rakyat sebagai poros kebijakan pangan.
Salah satu langkah penting adalah memperkuat petani lokal. Saat ini, banyak petani terjebak dalam sistem yang tidak adil, diantaranya harga jual rendah, biaya produksi tinggi, dan akses ke pasar serta modal sangat terbatas. Kita perlu menghadirkan kebijakan yang berpihak pada petani, bukan hanya korporasi. Subsidi benih dan pupuk yang tepat sasaran, harga beli yang layak, serta perlindungan terhadap produk lokal dari serbuan impor harus menjadi prioritas utama.
Teknologi dan inovasi juga perlu kita dorong. Program smart farming, pertanian presisi, hingga digitalisasi rantai pasok bisa meningkatkan efisiensi dan produktivitas petani. Namun, teknologi tidak boleh hanya dimonopoli oleh elite agribisnis. Kita harus memastikan petani kecil di desa-desa dapat mengakses dan memahami teknologi ini melalui pelatihan dan pendampingan yang berkelanjutan.
Selain itu, diperlukan pembangunan sistem logistik dan distribusi pangan yang merata dan efisien. Kerap kali harga pangan mahal bukan karena langka, melainkan karena rantai distribusi yang panjang dan penuh spekulan. Investasi dalam infrastruktur pertanian—seperti gudang penyimpanan, jalan tani, dan pasar induk—harus menjadi prioritas pembangunan.
Kedaulatan pangan juga menyangkut pola konsumsi kita. Kita perlu mendorong diversifikasi pangan dengan menghidupkan kembali pangan lokal seperti sorgum, jagung, ubi, dan sagu. Langkah ini akan mengurangi ketergantungan pada beras dan gandum serta membuka peluang pasar baru bagi petani lokal.
Semua upaya tersebut bukan hanya untuk menciptakan ketahanan pangan, tetapi juga menggerakkan ekonomi nasional dari desa. Ketika petani sejahtera, desa bergeliat. Ketika desa bergeliat, konsumsi meningkat, industri hidup, dan ekonomi tumbuh. Kedaulatan pangan menciptakan multiplier effect yang luas.
Ke depan, kita tidak bisa menunda lagi agenda kedaulatan pangan. Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas, dunia usaha harus ikut berpihak, dan masyarakat luas perlu menjadi konsumen yang sadar pangan. Ini bukan semata tugas petani, tapi tugas kolektif bangsa.
Saat kita mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam hal pangan, kita bukan hanya lebihuat menghadapi krisis, tapi juga lebih mandiri dan berdaulat secara ekonomi. Maka, mari kita jaga petani kita, lindungi pangan lokal kita, dan bangun sistem pangan yang adil dan berkelanjutan. Dengan pangan berdaulat, ekonomi rakyat pun bangkit.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!