Ad Code

Koran Kompas Edisi Lama


BEBERAPA hari yang lalu saya sempat membuka-buka kembali “harta karun” saya yang tersimpan dalam tumpukan-tumpukan kardus. Harta karun yang berupa bundel koran yang sempat saya beli sejak belasan tahun lalu. Aroma khas kertas koran yang telah lama pun menyeruak menyesakkan hidung. Meskipun tak terlalu banyak jumlahnya, namun ada beberapa jenis koran yang saya simpan. Salah satunya yang terbanyak adalah Kompas.

Meskipun tak berlangganan koran Kompas, namun sejak  tahun 1997-an saya (terkadang) suka membeli koran khususnya yang terbit pada hari minggu ataupun yang mempunyai edisi khusus. Kenapa? Karena Kompas hari minggu selalu menampilkan beberapa tulisan yang bagi saya sangat menarik dan pastinya berbeda dengan hari-hari biasa. Rubrik cerpen dan puisi ketika itu menjadi salah satu yang saya minati. Demikian juga dengan yang terbitan khusus, selalu menampilkan tulisan-tulisan yang menarik dan “lebih dalam”.

Inilah yang membuat saya membeli koran dan mengumpulkannya dalam bundel-bundel tak beraturan, yang keinginan saya suatu saat nanti akan saya buat kliping khusus dan saya isikan pada taman baca yang sejak lama saya idam-idamkan ketika tinggal di desa (sampai sekarang dua keinginan saya itu belum terwujud, sebab saya seringkali mencangkul pada “ladang” yang berpindah-pindah).

Tak ketinggalan, saya juga mengkliping secara sederhana rubrik opini Kompas terutama yang ditulis oleh orang-orang terkenal dan hebat-hebat yang seringkali membuat minder. Rubrik opini inilah yang membuat saya terlecut dan selalu bertanya: kapan tulisan saya bisa nongkrong di sini? Sebenarnya ini pertanyaan yang “tak tahu diri”, sebab saya merasa tak terlalu punya kemampuan ilmu jurnalistik maupun ilmu untuk menganalisis keadaan. Tahun 2001, pernah sekali-kalinya mengirim tulisan ke Kompas, hasilnya sukses dikembalikan dengan catatan dalam amplop berwarna coklat. Setelah itu saya tak pernah lagi mengirim tulisan, saya merasa malu dan kapok, seolah-olah seluruh dunia mengolok-olok saya, sampai-sampai beberapa hari saya susah tidur dibuatnya.

Baru awal-awal tahun 2006 ketika saya pulang liburan ke Jombang (ketika itu saya masih tinggal di Bogor), ternyata Kompas sudah mempunyai edisi lokal Jatim dan tentu saja rubrik opini atau di Kompas Jatim dikenal dengan Forum. Saya pun mulai memberanikan diri untuk mengirimkan tulisan ke rubrik Forum itu, tentu saja dengan topik yang saya sukai.  Saya tak terlalu mempedulikan redakturnya suka atau tidakJ, dan juga saya sudah tak terlalu mempedulikan akan di muat atau tidak. Bagi saya berani menulis itu sudah membahagiakan, dan apalagi jika berani mengirimkan tulisan ke koran, itu sudah saya anggap sebagai prestasi yang luar biasa (perkara dimuat atau tidak itu urusan redaktur dan Tuhan yang menggerakan krenteg atau hati redaktur). Alhamdulillah, tulisan pertama di Kompas edisi Jatim itu dimuat selang 3 hari dari pengiriman. Saking senangnya membuat saya lupa menulis untuk beberapa bulan sampai saya kembali ke Bogor. Suatu saat ketika main-main ke Bandung saya juga “menemukan” Kompas edisi Jabar dan tentu saja menyediakan Forum buat orang “luar”. Saya mencoba mengirimkan tulisan-tulisan ke situ, hasilnya tak  saya sangka malahan, 4 tulisan pertama saya bisa tampil. Kurun waktu sekitar 2006-2007 belasan tulisan saya nongkrong di media ini, meskipun setelah 4 tulisan pertama tampil, bukan berarti tulisan berikutnya tidak pernah dikembalikan. Berkali-kali saya menerima email pengembalian [sudah tak pakai surat beramplop coklat] sampai saya kebal dan hapal dengan kalimat-kalimatnya. Saya pun cuek saja sehingga tetap bisa tidur nyenyak J.

Ketika bulan puasa tahun 2006 (juga bulan puasa berikutnya sampai 2009 lalu), Kompas Jabar mengundang “orang-orang luar” yang pernah mengisi di rubrik Forum untuk menghadiri acara buka puasa bersama sekaligus “menjadi saksi” pindahan ke gedung barunya. Saya pun tak menyia-nyiakan undangan yang diterima teman satu kost saya di Bogor (saat itu saya sudah mudik lebaran di Jombang, namun tetap saya bela-belain datang ke Bandung hanya untuk menghadiri acara buka puasa).

Selain acara buka puasa, Kompas Jabar membagikan souvenir dan 2 buku [salah satunya buku yang seingat saya ditulis oleh Jakob Oetama dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas tahun 2001 dengan sampul dominan hitam berjudul Pers Indonesia: Berkomunikasi Dengan Masyarakat Tidak Tulus]. Dari situlah saya (meski agak minder) bertemu dengan para penulis senior Jabar yang tulisannya sering saya baca di rubrik Forum. Kami juga diajak keliling memasuki dapur baru Kompas Jabar sekaligus mendapat “wejangan” dari Pak Dedy Muhtadi [kalau tak salah pimred-nya], bagaimana tata cara “memasak” tulisan-tulisan hingga layak “hidang”. Benar-benar ilmu baru bagi saya yang ndeso dan awam ini.

Kembali ke awal, yang paling menarik dan spesial adalah penemuan kembali “harta karun” saya yang berupa bundel Kompas terbitan Rabu, 28 Juni 2000. Kompas yang terbit khusus dalam rangka peringatan ulang tahun yang ke-35 itu mempunyai jumlah halaman yang super tebal ketika itu, kalau tidak salah mencapai 100 halaman. Sampai saat ini pun saya belum membaca tuntas tulisannya, dan “harta karun” yang ingin saya baca lagi saat ini jumlahnya sudah berkurang, termasuk halaman pertamanya. Saya tak tahu ke mana raibnya halaman-halaman itu.

Saya jadi teringat, untuk mendapatkan Kompas edisi khusus itu di kota sedang seperti Jombang, bukanlah perkara mudah. Tahun 2000 Kompas memang telah merambah kota Jombang, namun tidak semua agen koran menyediakannya, hanya beberapa saja. Dan juga pembeli eceran Kompas ketika itu jumlahnya masih sangat sedikit. Entah apa sebabnya, mungkin karena harganya yang mahal dan atau tulisannya yang agak berat dan “dalam”. Apalagi ketika itu marak terbit koran dengan harga yang murah, dengan tulisan-tulisan yang cenderung disukai masyarakat, misal seputar hura-hura politik, mistik, infotainment, kriminal dan seks yang sering diterbitkan oleh koran-koran “traffic light” pada masa itu.

Tiras Kompas di Jombang masih kalah jauh dibandingkan dengan salah satu koran nasional terbitan Surabaya yang ketika itu sudah mulai berani dengan tampilan lebih seksi dan menyisipkan beberapa halaman khusus dengan berita lokal seputar Jombang. Sementara Kompas sendiri waktu itu belum mempunyai edisi khusus lokal Jawa Timur seperti saat ini dan “body”-nya belum se-“seksi” sekarang.

Itu informasi yang saya peroleh dari salah satu agen di Jombang. Pada umumnya pembaca (pembeli) Kompas sudah tersegmentasi dengan pasti karena sebagian besar membeli dengan cara berlangganan. Kompas masih dianggap “bonafid” yang pembacanya kalangan tertentu dan punya pengetahuan “rangkap”, sehingga mau tak mau agen-agen koran hanya menyediakan eksemplar koran sejumlah pelanggan dan hanya sedikit yang dijual secara eceran.

Untuk mendapatkannya, saya harus pesan ke agen sekaligus membayarnya di depan sebelum edisi khusus itu terbit. Harga resminya ketika itu kalau tidak salah Rp. 3000,-, namun agen menjualnya dengan harga Rp. 5000,-. Harga yang ketika itu bisa untuk biaya makan sehari dengan menu standar [saya] di Jombang.

Dari 100 halaman itu terbagi menjadi beberapa tema tulisan, mulai dari teknologi, pendidikan, energi, agama, politik, sosial-budaya dan sebagainya, termasuk tak ketinggalan space iklan yang tak bisa di bilang sedikit J. Penulisnya pun selain dari Kompas sendiri, terbanyak dari luar seperti akademisi, teknokrat, agamawan dan tokoh-tokoh lain di republik ini. Beberapa tulisan di edisi itu pun sepengetahuan saya sudah ada yang diterbitkan menjadi buku-buku, terutama diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas.

Saya tak hendak mereview tulisan-tulisan di Kompas itu. Saya hanya ingin sedikit mengelupas memori saya setelah saya menemukan “harta karun” yang telah saya simpan selama 10 tahun. Sesungguhnya saat ini saya sangat ingin membaca, menyimpan, mengoleksinya secara utuh lalu menyebarkannya kepada orang-orang [baca: anak-anak] di kampung saya [suatu saat nanti tentunya] Kompas edisi lama itu.

Sejak beberapa tahun yang lalu saya juga kadangkala mengumpulkan bundel Kompas Anak yang menjadi sisipan Kompas setiap hari minggu, meskipun tak beraturan edisinya, yang kemudian sebagian saya bagikan ke anak-anak di kampung ketika saya pulang kampung. Ini sebagai salah satu bentuk “dendam” saya di masa kanak-kanak yang tak kesampaian untuk mendapatkan buku-buku bacaan.

Lalu kira-kira di antara pembaca, masih adakah yang menyimpan Kompas edisi yang lalu itu? Ingin rasanya saya mengoleksinya secara utuh, 100 halaman. Kalau ada yang mempunyai utuh dan rangkap dua serta mau melepasnya, saya tak keberatan untuk membelinya. Bagaimana?

Posting Komentar

6 Komentar

  1. hahahaha kalo kolektor perangko kan filateli, lha terus ini koran apa ya namanya hahaha

    BalasHapus
  2. saya punya kompas dan jawa pos edisi 1 januari 2000, masih utuh tersimpan di rumah jogja :)

    BalasHapus
  3. Saya punya Kompas Jakarta, edisi 01 Januari 2000 , edisi Millenium Baru seru, wuah rame dan berbobot "kaleidoskop", itu yang bikin kemecer para kolektor. Halamannya hanya 80, memang segitu dari sononya.

    BalasHapus
  4. Saya minta bantuan pencarian bukti2/arsip2 apapun yg ada sangkut pautnya dgn http://www.abdulmalikarasy.wordpress.com untuk kemenangan fatimah no hp sy ada di web itu.trims

    BalasHapus
  5. hahaha....saya juga masih menyimpannya, termasuk jawa pos edisi milenium juga (1-1-2000).
    blogefzed.blogspot.co.id

    BalasHapus

Thanks for your visiting and comments!

Ad Code