Ad Code

Museum Bikon Blewut: Dari Ledalero Melihat Flores


PADA siang yang terik di pertengahan bulan november, menjelang pukul 12.00 WITA saya “berziarah” mendatangi kampus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Ledalero di pinggiran kota Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Kampus ini merupakan kampus tertua, berdiri sejak tahun 1936. Tujuan saya bukan untuk mengunjungi kampusnya, namun secara khusus adalah berkunjung ke museum Bikon Blewut yang berada di area kampus STF Ledalero.

Kunjungan saya kali ini di temani seorang kawan, Alfred namanya, “penghuni” Laut Flores, sehingga beliau ini hafal benar apa saja yang ada di permukaan sampai dasar Laut Flores. Seorang penyelam handal yang sangat menguasai medannya dan hampir semua spot-spot bawah laut flores sudah “didatangi”.

Setelah sampai di gerbang kampus, saya pun menuju pos satpam untuk melapor dan mengisi buku tamu. Selepas itu langsung masuk  ke bagian belakang kampus yang berada di puncak perbukitan. Tak sampai lima menit saya sudah berada di depan gedung museum, yang ternyata juga mempunyai pintu gerbang sendiri. Bertepatan dengan itu seorang petugas sedang keluar museum dan sepertinya mau mengunci pintu gerbang. Teman saya pun langsung menyapa dan menanyakan apa sudah mau ditutup museumnya. Penjaga itupun mengiyakan kalau mau tutup. Sebelum benar-benar tutup, biar tetap bisa masuk museum, saya dan teman pun menjelaskan kedatangan saya dan dari mana saya. Jombang, begitu saya menyebutkan asal saya. Beliaupun menjawab, “Jombang, tetangganya Gus Dur”. Saya pun berpikir, ternyata Gus Dur terkenal juga di sini. Selanjutnya dia juga menjelaskan kalau dulu Gus Dur pernah ke sini. Saya tak menanyakan lebih lanjut, maksudnya ke sini itu ke museum dan kampus STF Ledalero atau ke Maumere.

Setelah basa-basi sejenak pak penjaga pun tak jadi menutup museum, bahkan memberi waktu kami untuk masuk ke museum. Saya pun di persilahkan duduk di “ruang tamu” untuk mengisi buku tamu. Nampak di buku tamu dan meja kaca administrasi ada banyak kartu nama tokoh nasional dan jurnalis dari media-media yang terbit di Jawa pernah datang ke museum ini. Sementara untuk masuk museum ini gratis, namun di  situ disediakan kotak “infak” untuk sekadar diisi seiklhasnya.


Setelah mengisi buku tamu dan kotak “infak”, saya pun berkeliling melihat-lihat isi museum dengan didampingi teman saya dan penjaganya. Kondisi umum museum ini, bangunannya tak terlalu besar, terbagi mejadi 3 ruang. Satu ruang kecil untuk administrasi dan ruang tamu dengan beberapa koleksi buku lama, gambar-gambar pahlawan nasional dan lokal, koleksi uang dan benda-benda “kecil” lainnya. Sementara dua ruang lainnya yang lebih, diisi dengan benda-benda bersejarah dan purbakala lainnya. Kondisi umumnya lainnya, museum ini “benar-benar museum”, yang jarang atau sedikit dikunjungi orang dan sepertinya lebih banyak “dikunjungi” debu dan sarang laba-laba yang sekali berkunjung tak mau balik lagi. 

Koleksi museum bikon blewut cukup banyak dan beragam. Mulai dari koleksi berupa benda-benda etnografi, arkeologi, biologi, sejarah, barang pecah belah keramik, dan hasil karya seni yang ada di Flores dan dari daerah-daerah di Nusa Tenggara Timur lainnya.

Ada miniatur rumah adata Sikka yang saya pernah mengunjungi rumah aslinya, alat musik Sasando dari Pulau Rote, alat pintal kapas dan alat tenun tradisional Sikka, dan koleksi yang agak seram yaitu berupa kerangka manusia tentara Jepang yang masih utuh. Ya, Jepang memang pernah mendarat dan bahkan membuat pangkalan udara (bandara) di pesisir utara Kabupaten Sikka. Sampai saat ini bekas pangkalan udara itu masih ada, terbentang luas di berhadapan langsung dengan lautan dan menjadi padang rumput yang dimanfaatkan masyarakat melepas ternaknya.


Selain itu juga ada juga gambar dan kerangka manusia flores jaman purba. Kerangka manusia flores yang hidup puluhan ribu tahun lalu itu hanya tinggal bagian kepala dan beberapa bagian tulang yang tercecer, sementara --seperti kata penjaga-- ada yang masih utuh namun berada di negeri Belanda. Secara fisik manusia flores berukuran lebih kecil dibanding manusia Indonesia pada umumnya.


Selain itu koleksi yang lain adalah alat pemintal benang dan alat tenun yang masih sangat tradisional. Ada juga koleksi berbagai kerangka binatang laut yang ada dan hidup di perairan NTT.  Termasuk juga barang pecah belah berupa gerabah, guci dan keramik peninggalan pelaut-pelaut tiongkok yang kapalnyan tenggelam.


Yang paling menarik perhatian saya adalah gambar dengan alur cerita tentang suku Bangsa Lio, salah satu suku di Pulau Flores, yang ternyata mempunyai cerita tersendiri tentang ibu padi. Ibu padi atau bagi suku bangsa lio di sebut “ine mbu” hampir sama dengan Dewi Sri, Dewi Padi, atau Sang Hyang Sri, bagi masyarakat tani di Jawa, Bali atau Sulawesi. Untuk mencegah kegagalan panen dan menjaga kesuburan tanah, maka harus ada persembahan atau tumbal seorang wanita. Tak banyak cerita detail tentang kejadiannya, tetapi ceritanya penuh mistik dan “berdarah-darah”. Ini membuat pandangan saya sedikit berubah, apalagi setelah sekilas mendengar cerita bapak penjaga museum. Ternyata flores juga penghasil padi sebagai bahan pangannya, tak  hanya jagung dan ubi yang bisa tumbuh. Tak hanya kegersangan dan musim panas saja. Sebagian Flores juga sangat subur dan sejuk. Setidaknya saya telah melihat sendiri beberapa kawasan yang subur. Di Kecamatan Magepanda, di pesisir utara Kabupaten Sikka, terhampar luas pertanian padi yang sangat subur. Sementara di kawasan Moni, di lereng gunung Kelimutu, di Kapubaten Ende misalnya, juga terkenal dengan pertanian padi dan sayurannya. Demikian juga dengan Bajawa dan Ruteng, udaranya sangat sejuk tak ada bedanya dengan kawasan Puncak Bogor atau Pujon di Malang.

Masih banyak koleksi lain di museum Bikon Blewut ini ini. Tak terasa saya hampir satu jam saya berada di museum yang “benar-benar museum” ini. Setidaknya dari museum ini, saya bisa melihat dan “membaca” Flores.

Posting Komentar

1 Komentar

Thanks for your visiting and comments!

Ad Code