Ad Code

Sekerat Pola Konsumsi Daging Kerbau

11
 Sumber foto: shuttherstock.com

DALAM beberapa tahun terakhir, khususnya sebelum Covid 19 melanda, negara kita selalu melakukan importasi daging kerbau. Tujuan utamanya, selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat juga untuk mengintervensi (menurunkan) harga daging sapi yang selama ini seringkali melangit. Terlepas dari hal tersebut, tentu ini akan menjadikan masyarakat kita memiliki banyak varian dan pilihan baru dalam mengonsumsi daging. Namun demikian, salah satu persoalan yang muncul adalah  tidak semua masyarakat Indonesia familiar dengan daging kerbau. Merujuk pada data susenas dari 2005-2017 tingkat partisipasi konsumsi masyarakat dalam mengonsumsi daging kerbau hanya berkisar satu persen dan tingkat konsumsinya tak lebih dari 250 gram per kapita per tahun. 

Selain itu, data susenas tersebut juga menunjukan adanya tingkat partisipasi masyarakat dalam mengonsumsi daging kerbau maupun jumlah yang dikonsumsi memiliki keragaman yang tinggi dan membentuk pola yang berbeda-beda untuk setiap kelompok masyarakat. Untuk tingkat konsumsi misalnya, secara umum dalam periode tersebut, tingkat konsumsi daging kerbau pada kelompok masyarakat yang tinggal di desa lebih tinggi dibanding dengan kelompok masyarakat yang tinggal di kota. Hal ini terjadi karena pada umumnya desa menjadi tempat peternakan kerbau sehingga akses masyarakat desa dalam memperoleh daging kerbau relatif lebih mudah. Sementara itu rerata tingkat konsumsi daging kerbau juga menunjukan pola semakin bahwa tinggi tingkat pendapatan maka semakin tinggi tingkat konsumsinya baik pada masyarakat di perdesaan maupun pada masyarakat perkotaan.

Oleh karena itu, meskipun tingkat partisipasi dan tingkat konsumsi yang masih rendah namun dalam beberapa tahun terakhir trennya terus meningkat, ada baiknya peran dan potensi daging kerbau (lokal) dioptimalkan. Selain untuk memenuhi dan melengkapi kebutuhan daging masyarakat Indonesia, juga untuk lebih menggali potensi ekonomi produksi atau peternakan kerbau yang tentu dampaknya juga dapat  meningkatkan pendapatan masyarakat.

Lebih Unggul

Secara nutrisi, sifat fisik dan kimia, daging kerbau lebih unggul dibanding dengan daging sapi. Menurut Lemcke (2010) kandungan lemak daging kerbau lebih sedikit dibanding dengan daging sapi, serta memiliki porsi jumlah daging merah yang lebih tinggi. Daging kerbau seberat 100 gram kandungan kalorinya sebesar 79 kkal, lemak 0,5 gram, protein 18,7 gram, zat besi 3,3 mg, dan kalsium sebesar 14 mg. Dalam jumlah yang sama, daging sapi mengandung kalori sebesar 201 kkal, lemak 14 gram, protein 18,8 gram, zat besi sebesar 2,8 mg, dan kalsium sebesar 11 mg.

Dengan kandungan nutrisi seperti itu, mengapa masih ada masyarakat yang kurang berminat dengan daging kerbau? Salah satu penyebabnya adalah daging kerbau mempunyai tekstur yang lebih keras sehingga membutuhkan proses pengolahan yang lebih lama. Selain itu warna daging kerbau cenderung merah tua yang tentu tidak terlalu menarik konsumen. Demikian juga dengan seratnya yang lebih kasar dan dagingnya mempunyai tekstur yang lebih liat dibanding dengan tekstur daging sapi. Tekstur daging yang kasar dan liat ini karena seringkali daging kerbau dipotong pada masa afkir atau usia tua. Ditambah lagi kerbau-kerbau di Indonesia pada umumnya digunakan untuk bekerja membantu mengolah lahan pertanian maupun untuk transportasi. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri kalau kita ingin memasyarakatkan daging kerbau.

Keunggulan lainnya adalah terkait dengan sistem produksi dimana menurut beberapa ahli kerbau punya keistimewaan tersendiri. Misalnya menurut Diwyanto dan Handiwirawan (2006), bahwa kerbau mampu bertahan hidup di lingkungan yang ekstrim dan kondisi pakan yang kurang baik secara kualitas maupun kuantitas serta mampu berkembangbiak dalam rentang agroekosistem yang luas dari daerah yang basah sampai kering. Namun sayangnya, secara umum menurut Procula (2008), pemeliharaan kerbau di Indonesia belum ditujukan sebagai ternak penghasil daging, karena peran utamanya untuk mengolah lahan pertanian, sebagai sumber pupuk dan tabungan.

Terkait Tradisi

Meskipun secara umum masyarakat Indonesia kurang meminati daging kerbau, yang ditunjukan dengan rendahnya angka partisipasi konsumsi maupun jumlah yang dikonsumsi, namun di beberapa daerah di Indonesia ada yang angka partisipasi maupun jumlah konsumsinya relatif tinggi. Bahkan ada yang menjadikan daging kerbau ini sebagai menu khas dan bagian dari tradisi, misalnya di daerah Kudus dan beberapa daerah di kawasan pantai utara Jawa Tengah. 

Bagi masyarakat Kudus misalnya, daging kerbau tak kalah populer dibanding dengan daging sapi. Hal ini sangat terkait dengan tradisi dan sejarah syiar Islam di tengah masyarakat Hindu, dimana bagi masyarakat Hindu sapi merupakan hewan yang dianggap suci. Sebagai bentuk penghormatan umat Islam terhadap umat Hindu, Sunan Kudus melarang pengikutnya untuk mengonsumsi daging sapi dan menggantinya dengan daging kerbau. Dan sampai sekarang kebiasaan mengonsumsi daging kerbau masih belum tergantikan sepenuhnya. 

Demikian juga dengan selera masyarakat Betawi di DKI Jakarta yang menurut Saenab dan Benny (2011), menyukai daging kerbau karena kaitannya dengan aktivitas tradisi mereka misalnya ketika mengadakan acara pesta perkawinan, khitanan dan acara adat lainnya, termasuk juga saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sementara kelompok masyarakat lainnya yang menggemari daging kerbau adalah Pandeglang Banten, Simelue Aceh, Toraja, Bali dan beberapa daerah di Kalimantan. Di daerah-daerah ini konsumsi daging kerbau relatif tinggi dan sangat erat keterkaitannya dengan tradisi maupun acara-acara religi serta memang karena kebutuhan untuk konsumsi.

Selain faktor tradisi dan religi yang menjadi preferensi konsumen memilih daging kerbau, tentu saja pendapatan dan harga daging kerbau maupun harga daging lainnya (sapi) juga turut mempengaruhi preferensi masyarakat. Fenomena meroketnya harga daging sapi misalnya, terkadang memaksa sebagian masyarakat beralih dan memilih daging kerbau sebagai menu alternatif karena harganya yang relatif lebih murah.

Namun demikian, kerbau yang potensial ini seringkali dipandang sebelah mata. Padahal dalam potret konsumsinya jelas daging kerbau mempunyai keunggulan kandungan nutrisi. Pun demikian secara norma agama dan nilai sosial budaya, mengonsumsi daging kerbau tidak ada yang melarang. Ditambah lagi secara historis sebagian masyarakat kita telah mempunyai preferensi meminati daging kerbau sebagai bagian dari konsumsi pangannya maupun ternak kerbau sebagai penunjang usaha taninya.

Oleh karena itu, peternakan kerbau harus lebih diintensifkan dan  mendapat perhatian (kebijakan) serius sehingga bisa menjadi alternatif pemenuhan daging sebagai sumber protein hewani sekaligus sebagai upaya diversifikasi konsumsi daging dan memangkas ketergantungan pada konsumsi daging sapi (impor). Semoga!

Artikel ini telah dipublikasikan di: 

https://gagasan.sariagri.id/174/sekerat-pola-konsumsi-daging-kerbau

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code