Asia memiliki 60 persen populasi dunia dan kekayaan alam yang luar biasa. Selama ini, kekayaan itu sering dilihat sebagai kerentanan terhadap krisis iklim, padahal justru di situlah potensi terbesarnya. Dengan dukungan inovasi teknologi, pembiayaan hijau, dan kebijakan yang tepat, kita bisa mengubah ancaman menjadi peluang. Indonesia, sebagai negara megabiodiversitas, berada di posisi strategis untuk menjadi pusat ekonomi hijau di kawasan.
Perkembangannya pun mulai terasa nyata. Melalui platform IDX Carbon, volume perdagangan karbon di Indonesia melonjak hampir lima kali lipat dibanding tahun sebelumnya, mencapai sekitar 700 ribu ton CO₂ ekuivalen hingga pertengahan 2025. Ini menunjukkan bahwa upaya dekarbonisasi kini bergerak dari sekadar komitmen menuju tindakan yang terukur. Bahkan, dalam ajang Indonesia International Sustainability Forum 2025, Indonesia berhasil menarik komitmen investasi hijau sebesar Rp278 triliun, mencakup energi terbarukan, kelautan, kehutanan, dan infrastruktur berkelanjutan.
Potensi ekonomi hijau di negeri ini sesungguhnya jauh lebih besar. Riset menunjukkan, nilai potensi kredit karbon berbasis alam bisa mencapai lebih dari 1,3 miliar ton CO₂ ekuivalen dengan nilai ekonomi sekitar 190 miliar dolar AS. Sayangnya, pasar karbon di Asia Tenggara secara keseluruhan masih jauh dari optimal. Dari potensi 720 juta ton CO₂e, baru sekitar 20 juta ton yang benar-benar dimanfaatkan. Ini menjadi tantangan besar yang menuntut sinergi dan kolaborasi lintas negara agar potensi tersebut tidak hanya menjadi angka di atas kertas.
Bagi kita, arah pembangunan hijau ini membuka peluang baru di berbagai sektor. Restorasi mangrove, pengelolaan hutan berkelanjutan, teknologi pemantauan karbon berbasis blockchain, hingga penyelenggaraan bursa karbon digital adalah contoh konkret bagaimana ekonomi hijau menciptakan pekerjaan baru yang relevan dengan zaman. Sektor publik dan swasta perlu bekerja berdampingan: pemerintah menyiapkan regulasi dan pembiayaan dasar, sementara sektor swasta memperluas skala dan inovasi.
Namun, semua itu tidak akan berjalan tanpa fondasi kepercayaan. Integritas pasar karbon harus dijaga melalui sistem verifikasi dan pelacakan yang transparan. Kredibilitas menjadi modal utama agar investasi hijau terus mengalir dan menciptakan dampak yang nyata.
Tentu jalan ini tidak mudah. Harga karbon di Asia masih tergolong rendah, infrastruktur belum sepenuhnya matang, dan kerangka kerja regional belum seragam. Tetapi justru di sanalah peluang untuk memperkuat tata kelola dan membangun sistem yang lebih solid.
Ekonomi hijau memberi kita kesempatan untuk membangun masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. Ini bukan hanya tentang angka pertumbuhan atau investasi, tetapi tentang bagaimana kita menyiapkan generasi muda untuk bekerja di sektor yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga bermakna bagi kehidupan. Jika kita mampu menjaga arah ini, ekonomi hijau akan menjadi mesin pertumbuhan baru yang menciptakan lapangan kerja hijau, memperkuat ketahanan nasional, dan membawa kita menuju Indonesia Emas 2045.
Kini saatnya kita membuktikan bahwa menjaga bumi dan membangun ekonomi tidak harus berjalan berlawanan. Justru keduanya bisa tumbuh bersama, saling menguatkan, dan menjadi warisan terbaik yang bisa kita tinggalkan untuk masa depan.


0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!