Ad Code

Mesin Perekonomian Jombang Mulai Panas Tetapi Belum Melaju, Mengapa?

Ringin Contong dan Taman ASEAN Jombang [Foto: shutterstock/Faruq SJ]

PEREKONOMIAN Kabupaten Jombang sedang berada di persimpangan sejarahnya. Angka pertumbuhan memang terus bergerak, tetapi arah dan kecepatan lajunya masih menjadi tanda tanya besar. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) Jombang, 2025, menunjukkan bahwa dalam periode 2020–2024, ekonomi Kabupaten Jombang tumbuh dari Rp27,65 triliun menjadi Rp33,23 triliun (berdasar harga konstan 2010). Rerata pertumbuhan mencapai 4,96% per tahun. Angka yang cukup stabil, namun belum cukup untuk disebut akseleratif.

Lima sektor utama masih menjadi mesin penggerak ekonomi: perdagangan besar dan eceran (23,65%), industri pengolahan (22,64%), pertanian, kehutanan, dan perikanan (17,39%), konstruksi (10,26%), serta informasi dan komunikasi (6,42%). Angka-angka ini menunjukkan bahwa struktur ekonomi Jombang masih ditopang oleh sektor tradisional, meski perlahan mulai bergeser ke arah industri dan jasa.

Sektor pertanian tetap menjadi tulang punggung, tetapi mulai kehilangan tenaga. Pertumbuhannya pada 2024 hanya 0,86%, bahkan sempat negatif di awal dekade pandemi. Nilai tambahnya masih besar—sekitar Rp9,37 triliun (berdasar harga berlaku)—namun kontribusinya terhadap total PDRB terus menurun. Ketergantungan pada komoditas seperti padi, tebu, dan ternak membuat sektor ini rentan terhadap perubahan iklim, fluktuasi harga, serta alih fungsi lahan. Modernisasi pertanian belum benar-benar menyentuh akar masalah, yaitu produktivitas.

Sebaliknya, industri pengolahan menjadi titik terang baru. Dalam lima tahun terakhir, nilainya melonjak dari Rp8,32 triliun menjadi Rp11,99 triliun, tumbuh rata-rata 6,65% per tahun. Subsektor makanan dan minuman menjadi motor utama, menandai langkah Jombang menuju ekonomi bernilai tambah. Sayangnya, industri kecil dan menengah yang menjadi tulang punggungnya masih menghadapi kendala klasik—energi, modal, dan teknologi. Potensi besar akan muncul jika industri pengolahan bisa diintegrasikan dengan sektor pertanian lokal secara berkelanjutan.

Sektor perdagangan besar dan eceran kini menjadi penyumbang terbesar PDRB dengan nilai Rp12,75 triliun (23,65%). Aktivitas perdagangan menggeliat seiring meningkatnya konsumsi rumah tangga pasca-pandemi. Namun, digitalisasi belum sepenuhnya merata. Banyak pelaku UMKM masih bergantung pada pasar tradisional dan belum tersambung ke ekosistem e-commerce. Padahal, di sinilah masa depan ekonomi rakyat berada: menjual produk lokal ke pasar global tanpa meninggalkan akar kearifan lokal.

Sektor konstruksi juga menunjukkan geliat positif. Dengan pertumbuhan 5,85% pada 2024, pembangunan infrastruktur, jalan tol, dan kawasan perumahan mendorong permintaan bahan bangunan serta lapangan kerja baru. Bersamaan dengan itu, sektor informasi dan komunikasi tumbuh stabil di kisaran 6,42%, menandakan semakin kuatnya peran digitalisasi dalam kehidupan ekonomi masyarakat Jombang.

Namun, di balik deretan angka yang tampak menggembirakan, terselip catatan penting. PDRB per kapita atas harga berlaku memang naik dari Rp30,03 juta pada 2020 menjadi Rp39,55 juta pada 2024, tetapi bila disesuaikan dengan inflasi, nilainya hanya naik dari Rp21,02 juta menjadi Rp24,39 juta. Artinya, daya beli riil masyarakat belum meningkat signifikan. Pertumbuhan ekonomi berjalan, tetapi belum cukup cepat untuk memperluas kesejahteraan.

Kondisi ini menggambarkan apa yang disebut sebagai growth without transformation—pertumbuhan tanpa perubahan struktur. Selama perekonomian masih berat di sektor primer, Jombang berisiko terjebak dalam stagnasi produktivitas. Maka yang dibutuhkan bukan sekadar pertumbuhan, melainkan transformasi ekonomi dengan cara menguatkan agroindustri, memperluas digitalisasi UMKM, mendorong investasi berbasis inovasi, dan menyiapkan tenaga kerja dengan keterampilan baru.

Jombang punya semua modal untuk itu. Letaknya strategis di jantung Jawa Timur, sumber daya alam melimpah, dan masyarakatnya dikenal pekerja keras. Tetapi tanpa arah kebijakan yang progresif, semua potensi itu bisa terbuang sia-sia.

Kini pertanyaannya sederhana, apakah Jombang akan terus berjalan di jalur yang sama, atau berani menyalakan mesin baru yang bisa membawanya melaju lebih cepat?

Angka PDRB 2024 menegaskan bahwa mesin ekonomi Jombang memang mulai panas. Namun, untuk benar-benar melaju dan maju, mesin itu butuh bahan bakar baru berupa inovasi, investasi, dan keberanian berpikir maju.

Wonosalam, 30 Oktober 2025

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code