Selama lima tahun terakhir, ekonomi Indonesia menunjukkan ketahanan yang cukup baik meski diterpa pandemi dan gejolak global. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), laju pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2023 mencapai 5,05%, sedikit lebih tinggi dari 2022 yang berada di kisaran 5,03%. Sementara hingga triwulan II tahun 2024, pertumbuhan tetap stabil di sekitar 5,17%, menunjukkan daya tahan konsumsi rumah tangga dan peningkatan ekspor yang kuat.
Namun, pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup tanpa perubahan struktur yang sehat. Jika kita menilik sejarah, pada tahun 1969 perekonomian Indonesia masih didominasi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang menyumbang sekitar 46,9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kini, lebih dari setengah abad kemudian, struktur itu telah berubah drastis. Pada 2024, kontribusi sektor pertanian turun menjadi sekitar 12,5%, sementara industri pengolahan dan jasa-jasa modern seperti keuangan, perdagangan, dan transportasi mengambil peran utama dengan total kontribusi mencapai lebih dari 60%.
Perubahan ini sejalan dengan teori transformasi struktural yang dikemukakan oleh Hollis Chenery, yang menjelaskan bahwa seiring meningkatnya pendapatan per kapita, ekonomi suatu negara akan bergeser dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder (industri), dan kemudian ke sektor tersier (jasa). Fenomena ini juga diperkuat oleh teori migrasi Arthur Lewis, yang menyoroti peralihan tenaga kerja dari perekonomian tradisional menuju perekonomian modern.
Kita dapat melihat dampak positifnya. Tingkat urbanisasi meningkat pesat; data BPS menunjukkan bahwa lebih dari 57% penduduk Indonesia kini tinggal di kawasan perkotaan. Sementara pendapatan per kapita Indonesia yang pada masa awal Orde Baru hanya sekitar US$200, kini telah menembus US$5.200 pada tahun 2024 menurut Bank Dunia. Angka ini menandai kenaikan lebih dari 25 kali lipat dalam lima dekade.
Meski begitu, perubahan struktur ini juga membawa tantangan baru. Ketimpangan antarwilayah masih terasa kuat. Pulau Jawa, misalnya, masih mendominasi hampir 57% PDB nasional, sementara wilayah timur Indonesia seperti Maluku dan Papua baru menyumbang di bawah 3%. Hal ini menunjukkan bahwa proses industrialisasi dan modernisasi belum merata, dan masih dibutuhkan kebijakan afirmatif agar seluruh daerah dapat tumbuh bersama.
Selain itu, sektor pertanian—meski kontribusinya menurun—tetap memiliki peran strategis. Ia menyerap sekitar 28% tenaga kerja nasional, menyediakan bahan baku industri, serta menjadi tumpuan ketahanan pangan. Tantangan kita adalah bagaimana mengubah sektor ini agar lebih produktif dan efisien melalui inovasi teknologi, digitalisasi, serta akses permodalan yang lebih inklusif.
Sejalan dengan teori pertumbuhan neoklasik Robert Solow, sumber utama pertumbuhan jangka panjang terletak pada akumulasi modal, kemajuan teknologi, dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dengan demikian, investasi dalam pendidikan, riset, dan digitalisasi ekonomi menjadi kunci keberlanjutan pertumbuhan. Indonesia kini bergerak menuju ekonomi berbasis inovasi—dengan munculnya ribuan startup digital, meningkatnya ekspor teknologi, dan percepatan transformasi industri hijau.
Kita patut optimistis. Meski dunia tengah menghadapi ketidakpastian global dan krisis energi, Indonesia memiliki modal besar: demografi muda, sumber daya alam melimpah, serta posisi strategis dalam rantai pasok dunia. Yang kita perlukan adalah arah kebijakan yang konsisten—memastikan pertumbuhan yang tidak hanya tinggi, tetapi juga inklusif dan berkelanjutan.
Dengan memperkuat sinergi antara pertanian modern, industri bernilai tambah, dan sektor jasa berbasis teknologi, kita dapat melangkah menuju ekonomi yang lebih tangguh. Pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur bukanlah tujuan akhir, melainkan proses panjang menuju kesejahteraan bersama. Dan dalam proses itu, kita semua memiliki peran penting untuk memastikan bahwa kemajuan ekonomi benar-benar terasa di setiap jengkal negeri.


0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!