![]() |
| [Ilustrasi: synaoo.com] |
Kita masih menghadapi persoalan ketimpangan fiskal antarwilayah yang mencolok. Berdasarkan data Kementerian Keuangan tahun 2024, lebih dari 80% pendapatan daerah di luar Jawa masih bergantung pada dana transfer dari pusat, terutama Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Sementara daerah dengan PAD tinggi—seperti DKI Jakarta, Bali, dan Riau—menikmati keleluasaan fiskal yang tidak dimiliki daerah lain. Ketimpangan ini menimbulkan kesenjangan layanan publik, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur dasar.
Dalam teori fiscal federalism, transfer antar-pemerintah idealnya berfungsi memperkecil ketimpangan dan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya. Namun, di Indonesia, transfer sering kali tidak menciptakan insentif bagi daerah untuk menggali potensi pajak lokal. Banyak daerah lebih memilih “menunggu dana pusat” ketimbang berinovasi memperluas basis pajak atau memperkuat ekonomi lokal. Fenomena ini dikenal sebagai fiscal laziness. Akibatnya, desentralisasi malah menciptakan ketergantungan baru, bukan kemandirian fiskal sebagaimana diharapkan.
Kita juga perlu menyoroti persoalan matching grants dan nonmatching grants. Pemerintah pusat seharusnya mampu menyeimbangkan antara bantuan bersyarat (agar daerah memiliki tanggung jawab) dan bantuan tanpa syarat (agar daerah memiliki fleksibilitas). Namun, realitasnya, lebih dari 60% dana transfer bersifat nonmatching, sehingga kontrol atas efektivitas penggunaannya lemah. Banyak program daerah tidak sinkron dengan prioritas nasional, sementara sebagian dana habis untuk belanja pegawai, bukan pelayanan publik.
Selain itu, isu tax competition kini muncul di tingkat provinsi. Dalam upaya menarik investasi, beberapa pemerintah daerah menawarkan insentif pajak berlebihan, bahkan mengorbankan penerimaan jangka panjang. Padahal, praktik ini menimbulkan race to the bottom—daerah berlomba menurunkan pajak tanpa memperkuat basis ekonomi produktif. Menurut laporan Bank Dunia (2023), insentif fiskal daerah di Indonesia sering kali tidak efektif dan minim evaluasi dampak ekonomi.
Dalam konteks global, desentralisasi fiskal menghadapi tantangan baru berupa digitalisasi ekonomi. Pajak digital, transaksi lintas batas, dan mobilitas tinggi membuat pemerintah daerah kesulitan memungut pajak secara adil. Di sinilah perlunya pembaruan sistem perpajakan daerah berbasis data real-time. Pemerintah pusat melalui DJP dan Bappenas kini tengah menyiapkan integrasi sistem Regional Tax Data Hub untuk mengatasi kebocoran potensi pajak daerah yang diperkirakan mencapai Rp 80 triliun per tahun (Kemenkeu, 2024).
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap dimensi politik dalam desentralisasi fiskal. Pemilihan kepala daerah langsung sering mendorong perilaku populis: anggaran diarahkan ke proyek simbolik ketimbang kebutuhan strategis. Tanpa transparansi fiskal dan partisipasi publik yang kuat, desentralisasi justru memperbanyak “raja kecil” di daerah. Laporan Transparency International Indonesia (2024) menempatkan sektor pengadaan daerah sebagai area paling rawan korupsi, dengan kerugian negara mencapai Rp 9,2 triliun per tahun.
Kini, dua puluh lima tahun setelah reformasi, kita harus berani mengevaluasi ulang arah desentralisasi fiskal. Prinsip “money follows function” harus ditegakkan kembali. Transfer pusat ke daerah perlu berbasis kinerja (performance-based grants), bukan sekadar formula penduduk dan luas wilayah. Selain itu, daerah harus didorong mengembangkan inovasi pembiayaan seperti green bond, regional retribution reform, dan kemitraan publik-swasta yang transparan.
Kita memiliki peluang besar: potensi pajak daerah dari ekonomi digital, pariwisata, dan sumber daya lokal masih terbuka lebar. Namun tanpa integritas, transparansi, dan sistem akuntabilitas lintas level pemerintahan, desentralisasi fiskal hanya akan menjadi jargon politik. Sudah saatnya kita menuntut tata kelola fiskal yang adil, efisien, dan berorientasi pada kesejahteraan warga—bukan hanya kesejahteraan elite daerah.
Daftar Pustaka:
Bank Dunia. (2023). Indonesia Public Expenditure Review 2023: Strengthening Fiscal Resilience. Washington, DC: World Bank.
Hyman, D. N. (2002). Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy (7th ed.). Thomson Learning.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024). Data Transfer ke Daerah dan Dana Desa 2024. Jakarta: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Transparency International Indonesia. (2024). Laporan Indeks Persepsi Korupsi Daerah 2024. Jakarta: TII.
Bappenas. (2024). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025–2029: Reformasi Fiskal dan Desentralisasi Efektif. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.



0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!