![]() |
| [Foto: thinkstocks] |
Sejak masa awal ekonomi modern, Adam Smith dalam The Wealth of Nations menekankan bahwa pertumbuhan akan tercapai jika pasar bekerja secara efisien dan tenaga kerja terspesialisasi. Dalam pandangan klasik ini, akumulasi modal adalah mesin utama pertumbuhan. Namun, teori Smith tidak menyinggung bagaimana ketimpangan sosial, perbankan, atau kebijakan publik memengaruhi hasil pembangunan—sesuatu yang sangat kita rasakan di Indonesia saat ini. Meskipun ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5,1% per tahun selama satu dekade terakhir, ketimpangan pendapatan masih tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan rasio gini Indonesia berada di angka 0,388—angka yang hampir stagnan selama lima tahun terakhir.
Sementara itu, Karl Marx melihat pembangunan dari sisi konflik sosial. Ia berpendapat bahwa perubahan besar terjadi melalui pertentangan antara pemilik modal dan buruh. Dalam konteks Indonesia, teori Marx masih relevan ketika kita melihat realitas ketimpangan kepemilikan lahan dan upah yang stagnan di sektor informal. Menurut Kementerian Ketenagakerjaan (2025), sekitar 58% pekerja Indonesia masih berada di sektor informal, yang sebagian besar rentan terhadap kemiskinan dan tidak memiliki perlindungan sosial. Ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi belum otomatis berarti pembangunan sosial.
Rostow kemudian memperkenalkan teori Tahapan Pertumbuhan Ekonomi yang menggambarkan lima tahap evolusi pembangunan: dari masyarakat tradisional hingga konsumsi massa tinggi. Indonesia, dalam pandangan Rostow, mungkin sedang berada di antara tahap “tinggal landas” dan “menuju kedewasaan”. Industrialisasi berkembang, namun belum sepenuhnya berbasis teknologi tinggi dan efisiensi. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan kontribusi sektor industri terhadap PDB Indonesia turun dari 21,1% pada 2010 menjadi 18,7% pada 2024. Artinya, meskipun perekonomian tumbuh, proses industrialisasi belum cukup kuat untuk mendorong transformasi struktural.
Di sisi lain, teori pembangunan struktural seperti yang dikemukakan oleh Arthur Lewis dan Hollis Chenery menekankan transformasi dari ekonomi agraris ke ekonomi industri. Teori ini sangat relevan bagi Indonesia, yang masih memiliki sekitar 27 juta penduduk bekerja di sektor pertanian, dengan produktivitas yang rendah. Kita membutuhkan pergeseran tenaga kerja menuju sektor bernilai tambah lebih tinggi, namun ini tidak bisa dilakukan tanpa dukungan pendidikan dan pelatihan. Dalam konteks ini, teori pertumbuhan endogen menjadi sangat penting karena menyoroti peran investasi sumber daya manusia dan kebijakan publik.
Pemerintah sebenarnya telah menyadari pentingnya modal manusia. Melalui program Indonesia Emas 2045, salah satu pilar utamanya adalah pembangunan SDM unggul yang inovatif dan berdaya saing global. Namun, data UNESCO (2024) menunjukkan tingkat literasi digital Indonesia masih di bawah rata-rata Asia Tenggara. Ini menjadi tantangan besar, sebab di era ekonomi digital, produktivitas bukan lagi ditentukan oleh tanah atau mesin, melainkan oleh kemampuan berpikir kritis, berinovasi, dan beradaptasi terhadap perubahan teknologi.
Teori dependensia yang berkembang pada tahun 1970-an juga tetap relevan dalam konteks globalisasi ekonomi saat ini. Negara berkembang sering kali terjebak dalam ketergantungan terhadap negara maju melalui mekanisme perdagangan, investasi, dan utang. Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan neraca perdagangan yang bergantung pada ekspor komoditas primer seperti batubara dan kelapa sawit. Pada 2025, lebih dari 48% nilai ekspor Indonesia masih berasal dari komoditas mentah, yang berarti kita belum keluar dari jebakan low value economy. Dalam logika dependensia, hal ini membuat negara kita tetap berada di posisi “perifer” dalam sistem kapitalisme global.
Dari berbagai teori tersebut, kita belajar bahwa pembangunan bukan hanya soal menambah angka pertumbuhan, melainkan tentang bagaimana membangun kemandirian ekonomi, mengurangi ketimpangan, dan memperkuat daya tahan sosial. Tantangan Indonesia hari ini bukan sekadar mengejar investasi asing atau membangun infrastruktur, tetapi memastikan agar manfaat pembangunan tersebar merata, tidak terkonsentrasi di kota besar saja.
Kita perlu memadukan semangat teori klasik dengan pendekatan baru yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Kita membutuhkan strategi pembangunan yang berakar pada potensi lokal, didorong oleh inovasi, dan dipayungi oleh tata kelola yang bersih. Dengan demikian, teori pembangunan bukan hanya bahan diskusi akademik, tetapi menjadi pedoman nyata menuju cita-cita Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat.



0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!