![]() |
| Kesenjangan pembangunan [Foto: merdeka.com] |
Menurut Todaro dan Smith (2012), ekonomi pembangunan adalah cabang ilmu ekonomi yang berfokus pada upaya memperbaiki standar hidup masyarakat di negara-negara berkembang melalui transformasi struktural dan kelembagaan. Artinya, pembangunan ekonomi tidak semata diukur dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), tetapi juga dari kualitas hidup manusia—pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan partisipasi sosial.
Namun, tantangan yang kita hadapi kini jauh lebih kompleks dibanding masa lalu. Laporan World Bank (2024) menunjukkan bahwa hampir 700 juta orang di dunia masih hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem, yaitu dengan penghasilan kurang dari USD 2,15 per hari. Sementara itu, 10% populasi terkaya menguasai lebih dari 52% kekayaan global (Oxfam, 2023). Ketimpangan yang mencolok ini menandakan bahwa hasil-hasil pembangunan belum dirasakan secara merata, baik antarnegara maupun di dalam satu negara.
Jika kita melihat perbandingan antarwilayah, jurang perbedaan semakin kentara. Seorang keluarga di Amerika Utara berpenghasilan rata-rata USD 50.000 per tahun dan menikmati berbagai fasilitas hidup modern, sedangkan keluarga di pedesaan Asia atau Afrika hanya memperoleh sekitar USD 250–300 per tahun dan hidup dalam ekonomi subsisten. Ironisnya, kedua kondisi ekstrem ini bisa berdampingan di satu kawasan metropolitan dunia yang sama—seperti kemewahan di pusat kota São Paulo bersebelahan dengan kawasan kumuh favela (Meier & Rauch, 2005).
Masalah utama yang dihadapi negara berkembang bukan hanya kekurangan modal, tetapi juga lemahnya kelembagaan dan nilai sosial yang mendasari sistem ekonomi. Soedjatmoko pernah mengingatkan bahwa kegagalan banyak kebijakan pembangunan disebabkan karena teori ekonomi terlalu menekankan pertumbuhan, sementara mengabaikan aspek budaya, sejarah, dan kelembagaan (Soedjatmoko, dalam Todaro & Smith, 2009). Pembangunan yang tidak berpijak pada sistem sosial masyarakat akan melahirkan ketimpangan baru dan resistensi sosial.
Kini, dalam era ekonomi digital dan disrupsi teknologi, bentuk ketimpangan berubah wujud. Kesenjangan bukan hanya antara negara maju dan berkembang, melainkan juga antara mereka yang mampu beradaptasi dengan ekonomi digital dan mereka yang tertinggal secara literasi teknologi. United Nations Development Programme (UNDP, 2024) mencatat bahwa 37% populasi dunia masih belum memiliki akses internet. Ini berarti miliaran orang belum terlibat dalam arus ekonomi digital global yang menjadi motor pertumbuhan baru.
Kita perlu memahami bahwa pembangunan sejati tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kemanusiaan dan etika sosial. Ekonomi pembangunan, sebagaimana ditegaskan Kuncoro (2003), harus menempatkan manusia sebagai pusatnya—bukan sekadar alat produksi, tetapi sebagai subjek yang menentukan arah perubahan. Maka, tugas kita bukan hanya mempercepat pertumbuhan, tetapi juga memastikan bahwa pertumbuhan tersebut inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan serupa. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2025) menunjukkan tingkat kemiskinan nasional berada di angka 9,2%, sementara gini ratio yang mengukur ketimpangan pendapatan mencapai 0,388—angka yang menunjukkan kesenjangan masih cukup tinggi. Pembangunan ekonomi yang hanya fokus pada infrastruktur atau sektor industri tanpa memperkuat pendidikan, kesehatan, dan ekonomi pedesaan hanya akan memperlebar kesenjangan sosial.
Kita harus belajar dari masa lalu bahwa pembangunan bukanlah sekadar akumulasi faktor produksi, tetapi transformasi sosial yang memerlukan peran aktif institusi, nilai, dan sikap masyarakat (Easterly & Levine, 2001). Karena itu, arah kebijakan ekonomi pembangunan ke depan perlu menyeimbangkan antara efisiensi pasar dan keadilan sosial, antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
Kita juga tidak dapat menafikan peran moral dan spiritual dalam pembangunan. Ketika ekonomi hanya berorientasi pada pertumbuhan materi, maka muncul gejala dehumanisasi—pembangunan yang kehilangan jiwa. Seperti dikemukakan oleh Junaedi dkk. (2014), pembangunan harus dilihat sebagai transformasi paradigma yang menempatkan manusia, nilai, dan lingkungan sebagai satu kesatuan sistem sosial. Artinya, keberhasilan pembangunan tidak diukur dari seberapa besar pertumbuhan ekonomi, tetapi dari seberapa manusiawi arah kemajuan itu sendiri.
Di tengah dunia yang terus berubah, kita harus berani menafsir ulang makna kemajuan. Pembangunan yang sejati adalah ketika setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk hidup bermartabat, memperoleh pendidikan yang layak, dan berpartisipasi dalam kemajuan bangsanya. Hanya dengan demikian, cita-cita ekonomi pembangunan sebagaimana diajarkan oleh Todaro dan para pemikir besar lainnya dapat menjadi kenyataan: menciptakan dunia yang lebih sejahtera dan lebih manusiawi bagi kita semua.
Daftar bacaan:
- Badan Pusat Statistik. (2025). Statistik Indonesia 2025. Jakarta: BPS.
- Easterly, W., & Levine, R. (2001). It’s Not Factor Accumulation: Stylized Facts and Growth Models. World Bank Economic Review, 15(2), 177–219.
- Junaedi dkk. (2014). Transformasi Paradigma Pembangunan Ekonomi. Yogjakarta: LeutikaPrio.
- Kuncoro, M. (2003). Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan (Edisi Ke-3). Yogyakarta: UPP-AMP YKPN.
- Meier, G. M., & Rauch, J. E. (2005). Leading Issues in Economic Development. New York: Oxford University Press.
- Oxfam. (2023). Inequality Inc: How Corporate Power Divides Our World. Oxford: Oxfam International.
- Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2009). Pembangunan Ekonomi (Edisi 9, Jilid 1). Jakarta: Erlangga.
- United Nations Development Programme. (2024). Human Development Report 2024. New York: UNDP.
- World Bank. (2024). Poverty and Shared Prosperity 2024: Expanding Opportunities for All. Washington, DC: World Bank.



0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!