![]() |
| Lahan pertanian padi di Mundusewu Bareng [Foto: Dokumen Pribadi] |
DATA dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Jombang tahun 2024 menunjukkan bahwa luas panen padi di wilayah ini mencapai 55.369 hektare dengan total produksi 342.291,32 ton gabah kering giling (GKG). Jika dikonversikan menjadi beras, angka tersebut setara dengan 197.645,90 ton beras konsumsi. Namun, di balik capaian itu, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa produksi padi mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Luas panen berkurang 1.394 hektare atau 2,46 persen, dan produksi padi turun 4.582 ton atau 1,32 persen dari 2023. Angka ini mencerminkan dinamika pertanian kita yang semakin kompleks dan menuntut strategi adaptif yang lebih kuat.
Penurunan produksi ini tidak terjadi tanpa sebab. BPS mencatat bahwa penurunan luas panen terjadi terutama pada subround Januari–April 2024, yakni sebesar 3.381 hektare atau 12,19 persen dibandingkan periode yang sama pada 2023. Dampaknya terasa signifikan terhadap total produksi karena sebagian besar hasil panen padi di Jombang berasal dari musim tanam awal tahun. Sementara itu, produktivitas juga mengalami tekanan, terutama akibat anomali cuaca yang memperpanjang musim hujan dan menyebabkan keterlambatan tanam serta potensi gagal panen di beberapa titik.
Meski demikian, kita patut optimis melihat proyeksi untuk 2025. Berdasarkan potensi hasil survei Kerangka Sampel Area (KSA) dan Survei Ubinan, luas panen padi pada subround Januari–April 2025 diperkirakan meningkat menjadi 30.581 hektare, naik 25,52 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Produksi pun diproyeksikan mencapai 200.188 ton GKG, meningkat 26,79 persen dibandingkan 2024. Ini menjadi sinyal positif bahwa pemulihan sektor pertanian tengah berlangsung, terutama jika petani mampu mengelola jadwal tanam dan penggunaan teknologi secara lebih efisien.
Jika kita cermati lebih dalam, fluktuasi ini juga berkaitan dengan perubahan pola curah hujan, ketersediaan air irigasi, dan dinamika harga input pertanian seperti pupuk serta benih unggul. Tantangan lain muncul dari tekanan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Meskipun Jombang masih memiliki 55 ribu hektare lahan sawah, tekanan urbanisasi dan pembangunan infrastruktur berpotensi menggerus area produktif tersebut. Kita perlu melihat isu ini bukan hanya sebagai persoalan teknis pertanian, tetapi juga tata ruang dan keberlanjutan pangan daerah.
Menariknya, pada bulan April 2024 tercatat sebagai puncak produksi padi dengan hasil 114.893 ton GKG. Angka ini menunjukkan bahwa momentum panen raya tetap terjaga, dan ini bisa menjadi acuan untuk memperkuat manajemen pascapanen. Tantangan terbesar pada saat panen raya biasanya adalah fluktuasi harga gabah di tingkat petani. Jika tidak diimbangi kebijakan penyerapan gabah oleh pemerintah atau penguatan sistem cadangan pangan lokal, maka keuntungan petani bisa tergerus oleh pasar. Dalam konteks ini, peran lembaga seperti Bulog dan koperasi tani perlu diperkuat kembali.
Selain itu, hasil survei KSA menunjukkan keunggulan metode berbasis citra satelit dalam memperkirakan luas panen dan potensi produksi. Dengan teknologi ini, kita dapat memantau kondisi tanaman secara real-time, memperkirakan fase tanam, hingga mendeteksi risiko gagal panen akibat kekeringan atau banjir. Pendekatan ini merupakan langkah maju dalam modernisasi pertanian. Namun, kita juga harus memastikan bahwa hasil teknologi tersebut diikuti dengan kemampuan petani untuk menindaklanjuti informasi itu melalui penyuluhan yang intensif dan bantuan teknis yang tepat sasaran.
Dari sisi konsumsi, produksi beras 197 ribu ton pada 2024 menunjukkan bahwa Jombang masih menjadi salah satu daerah penyangga pangan penting di Jawa Timur. Dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 juta jiwa, produksi ini relatif cukup untuk kebutuhan lokal dan masih menyisakan potensi distribusi ke daerah lain. Namun, jika tren penurunan produksi terus berlanjut, ketahanan pangan daerah dapat terganggu. Karena itu, strategi diversifikasi tanaman pangan dan peningkatan efisiensi produktivitas per hektare menjadi agenda penting bagi kita ke depan.
Kesimpulannya, data tahun 2024 menunjukkan bahwa pertanian padi di Jombang sedang berada di persimpangan, yaitu antara tekanan penurunan hasil dan peluang kebangkitan lewat inovasi dan adaptasi. Jika kita mampu memperkuat sinergi antara teknologi, kebijakan pemerintah, dan kearifan lokal petani, maka Jombang bukan hanya dapat memulihkan hasil panen, tetapi juga meneguhkan diri sebagai daerah dengan sistem pangan yang tangguh dan berkelanjutan.


0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!