Ad Code

Menjaga Arah Pembangunan di Tengah Arus Migrasi dan Urbanisasi

URBANISASI dan migrasi desa–kota adalah dua wajah dari satu proses besar, yaitu transformasi pembangunan. Kita sering mendengar bahwa “kota adalah masa depan,” namun sesungguhnya, masa depan kota sangat bergantung pada bagaimana kita mengelola desa hari ini. Ketika ribuan orang muda meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di perkotaan, kita melihat bukan hanya pergerakan manusia, tetapi juga pergeseran struktur ekonomi nasional yang perlu kita kelola secara bijak.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024), tingkat urbanisasi di Indonesia telah mencapai 58 persen, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 66 persen pada tahun 2035. Artinya, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kota. Fenomena ini bukan hal baru—negara maju telah melewatinya. Namun, bagi kita, tantangannya berbeda, yaitu bagaimana memastikan migrasi dan urbanisasi tidak meninggalkan sektor pertanian dalam keterpurukan.

Sektor pertanian masih menjadi penyokong utama kehidupan masyarakat pedesaan. Ia menyediakan pangan, bahan baku industri, dan lapangan kerja bagi lebih dari 29 persen tenaga kerja Indonesia (BPS, 2024). Dalam masa-masa krisis, pertanian terbukti menjadi penyangga ekonomi yang tangguh. Namun, tantangannya besar meliputi alih fungsi lahan, rendahnya nilai tukar petani, dan ketimpangan akses terhadap teknologi serta pasar.

Michael Todaro dan Stephen C. Smith (2009) menyebutkan bahwa bias perkotaan sering kali menjadi akar persoalan migrasi. Pembangunan yang terlalu terpusat di kota menciptakan kesenjangan yang lebar antara desa dan kota. Akibatnya, migrasi menjadi pilihan rasional bagi masyarakat pedesaan. Tetapi ketika migrasi tidak diimbangi penciptaan lapangan kerja produktif di kota, muncul masalah baru: pengangguran urban, kemiskinan baru, dan ketimpangan sosial.

Kita perlu membalik paradigma pembangunan, bahwabukan lagi desa yang “mengejar” kota, melainkan kota dan desa yang tumbuh saling menguatkan. Pemerintah perlu memperkuat investasi di pedesaan—bukan hanya dalam bentuk infrastruktur fisik, tetapi juga peningkatan pendidikan, pelatihan, dan inovasi teknologi pertanian. Ketika produktivitas pertanian meningkat, desa akan menjadi ruang hidup yang layak, bukan sekadar tempat menunggu giliran untuk pindah ke kota.

Program seperti  Pupuk Bersubsidi dari Pupuk Indonesia merupakan contoh konkret peran negara dalam menjaga keberlanjutan sektor pertanian. Pada 2024, realisasi penyaluran pupuk bersubsidi mencapai 9,55 juta ton, meningkat dibanding tahun sebelumnya. Langkah ini penting, karena ketersediaan pupuk berpengaruh langsung terhadap produktivitas pangan nasional. Namun, subsidi pupuk saja tidak cukup. Kita memerlukan sinergi kebijakan yang memadukan pertanian dengan industrialisasi pedesaan, sebagaimana konsep Agricultural Demand-Led Industrialization (ADLI), yaitu pertanian yang mendorong tumbuhnya industri berbasis permintaan hasil pertanian.

Dengan pendekatan ADLI, hasil pertanian tidak berhenti di sawah atau pasar tradisional, tetapi diolah menjadi produk bernilai tambah tinggi. Inilah arah transformasi struktural yang seharusnya kita kejar, dari pertanian ke agroindustri, dari bahan mentah ke produk olahan, dari petani ke pengusaha desa. Bila ini berjalan, maka urbanisasi akan lebih seimbang—migrasi bukan lagi pelarian, tetapi pilihan rasional yang menguntungkan kedua belah pihak.

Kita juga perlu melihat urbanisasi secara positif. Kota tetap menjadi motor pertumbuhan, pusat inovasi, dan ruang kreativitas. Namun, agar tidak menjadi magnet yang menguras desa, kota harus memperluas jejaringnya dengan kawasan perdesaan melalui desentralisasi kewenangan, pembangunan infrastruktur konektif, dan pasar yang terbuka bagi produk desa. Dengan cara itu, urbanisasi bisa menjadi kekuatan integratif, bukan pemisah sosial-ekonomi.

Dengan demikian, keberhasilan pembangunan bukan diukur dari berapa banyak gedung menjulang di kota, tetapi dari seberapa kokoh akar kehidupan di desa. Pertanian bukan masa lalu, melainkan fondasi masa depan. Jika kita mampu menempatkan sektor ini sebagai pusat kebijakan pembangunan, maka migrasi dan urbanisasi akan menjadi proses alami yang memperkuat kesejahteraan bersama, bukan sumber ketimpangan baru.

Kita hidup di era di mana batas antara desa dan kota semakin kabur. Namun, dalam kaburnya batas itu, justru kita ditantang untuk memperjelas arah, yaitu pembangunan yang berpihak, berkeadilan, dan berkelanjutan. Karena pada akhirnya, kemajuan kota hanya berarti bila desa ikut sejahtera.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code