TAHUN 2018 menjadi momen penting untuk kembali menimbang kemajuan dan tantangan sektor pertanian kita. Di tengah geliat pembangunan infrastruktur dan digitalisasi ekonomi, sektor pertanian—yang menjadi tumpuan hidup jutaan rakyat—masih berjuang memperkuat fondasinya. Kita semua tahu, sektor ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, namun kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun. Ada optimisme, namun juga pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian menyumbang sekitar 13% terhadap PDB nasional pada triwulan kedua tahun 2018. Meski angkanya menurun dibandingkan dua dekade lalu, sektor ini masih menjadi penyokong utama kehidupan masyarakat pedesaan. Sayangnya, pertanian kita masih didominasi oleh petani skala kecil yang menghadapi banyak keterbatasan, mulai dari akses modal, benih unggul, hingga teknologi tepat guna.
Jika kita lihat lebih dalam, produktivitas petani kita masih tergolong rendah. Rata-rata hasil padi misalnya, menurut Kementerian Pertanian, berkisar antara 5,2–5,6 ton per hektare. Bandingkan dengan Vietnam yang bisa mencapai 6 ton per hektare dengan lahan dan iklim serupa. Ini menandakan bahwa efisiensi dan transfer teknologi belum optimal. Program mekanisasi yang dicanangkan pemerintah memang sudah dimulai, namun penyebarannya belum merata.
Pada tahun ini, Indonesia kembali menghadapi tantangan besar: alih fungsi lahan pertanian yang makin masif. Data dari Kementerian ATR/BPN menunjukkan bahwa setiap tahunnya sekitar 96.000 hektare lahan sawah berubah fungsi menjadi permukiman dan industri. Ini ancaman serius bagi ketahanan pangan nasional. Tanpa ada regulasi yang lebih tegas dan penataan ruang yang konsisten, kita akan kehilangan sumber produksi utama kita.
Sementara itu, isu kesejahteraan petani juga patut menjadi sorotan. Nilai Tukar Petani (NTP)—indikator kesejahteraan petani—pada bulan Agustus 2018 tercatat sebesar 102,47. Artinya, secara umum pendapatan petani masih sedikit lebih tinggi daripada pengeluarannya, namun angka tersebut belum cukup menunjukkan peningkatan signifikan dalam taraf hidup petani. Kita masih menyaksikan petani yang hidup dalam kemiskinan, tanpa jaminan harga hasil panen yang stabil dan menguntungkan.
Kebijakan subsidi pupuk dan benih yang dijalankan pemerintah sebenarnya telah membantu banyak petani kecil. Namun, distribusi yang tidak merata dan praktik penyimpangan masih menjadi hambatan klasik. Kita membutuhkan sistem yang lebih transparan dan berbasis data untuk memastikan bahwa subsidi benar-benar sampai ke tangan yang berhak. Perluasan program asuransi pertanian yang dimulai pada 2015 juga perlu didorong lebih agresif agar petani terlindungi dari gagal panen akibat cuaca ekstrem.
Namun bukan berarti kita tidak punya harapan. Tahun 2018 juga menandai mulai tumbuhnya semangat regenerasi pertanian. Banyak anak muda yang mulai melirik pertanian berbasis teknologi, seperti hidroponik, pertanian organik, hingga agritech berbasis digital. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian juga telah meluncurkan program petani milenial yang menyasar usia 19–39 tahun. Ini kabar baik yang perlu kita jaga dan dorong.
Tak hanya itu, diplomasi pertanian Indonesia mulai menunjukkan taringnya. Ekspor komoditas hortikultura seperti manggis, salak, dan nanas meningkat tajam. Menurut data Kementan, ekspor pertanian pada semester pertama 2018 mencapai Rp 240 triliun, naik dari tahun sebelumnya. Namun kita tetap harus waspada terhadap tantangan non-tarif seperti standar keamanan pangan yang makin ketat dari negara tujuan ekspor.
Secara keseluruhan, sektor pertanian Indonesia pada tahun 2018 sedang berada di persimpangan. Di satu sisi, ada kemajuan kebijakan dan inovasi. Di sisi lain, tantangan struktural belum terselesaikan. Kita butuh pendekatan yang lebih menyeluruh: reformasi agraria yang berpihak pada petani, riset dan inovasi pertanian yang terhubung langsung ke lapangan, serta keberpihakan anggaran yang lebih besar terhadap pertanian dan pedesaan.
Kita tidak bisa membiarkan sektor yang memberi makan bangsa ini tertinggal. Pertanian bukan hanya soal produksi, tapi juga soal kehidupan, keadilan, dan masa depan. Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan ancaman perubahan iklim, kemandirian pangan harus menjadi prioritas bersama. Mari kita jadikan tahun 2018 sebagai momentum untuk menata ulang masa depan pertanian kita: dari yang terpinggirkan menjadi sektor yang berdaya dan bermartabat.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!