Ad Code

Menyikapi Pesona "Janda Bolong"

Sumber Foto: shutterstock.com

BEBERAPA bulan terakhir pasar tanaman hias diramaikan dengan melonjaknya harga bunga Monstera adansonii atau yang lebih dikenal dengan Janda Bolong. Kenaikannya sangat fantastis dan nyaris tak logis. Bagaimana tidak, harga bunga Janda Bolong bisa mencapai jutaan rupiah dengan akumulasi helai daunnya. Harga di pasaran saat ini, menurut beberapa teman petani bunga dan di beberapa marketplace ada beberapa jenis Janda Bolong yang dihargai sampai belasan juta rupiah per lembar daunnya, seperti jenis Monstera obliqua. Sementara jenis Monstera mint dan terutama Variegata angkanya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Entah harga-harga tersebut benar-benar harga jualnya atau sebatas harga penawarannya saja. Yang jelas, dampak melonjaknya harga komoditas ini setidaknya membuat orang penasaran dan kemudian memburunya, baik untuk dikoleksi maupun dijadikan bisnis baru, bahkan oleh orang-orang yang tidak biasa bergelut dengan bunga.

Bagi petani maupun pedagang yang biasa bergelut dengan bunga, tentu ini menjadi peluang bisnis yang menggiurkan dan cepat mengerek pendapatannya. Mereka tak perlu bersusah payah promosi dan mencari segmen pasar baru untuk menjual produknya. Namun tidak demikian dengan para "pendatang baru" yang seringkali terjerumus dan menjadi "tumbal" karena tidak mengetahui "aroma" bunga maupun pasar bunga. Mereka ini "tergoda" untuk menggeluti Janda Bolong, termasuk berani berspekulasi dengan memborongnya, yang tentu harganya sudah melangit.

Kalau kita cermati, melambungnya harga tanaman hias semacam Janda Bolong seperti saat ini bisa jadi karena memang permintaannya sangat tinggi sedangkan di pasaran jumlahnya terbatas. Masa pandemi sekarang ini memaksa banyak orang untuk beraktivitas di rumah dan salah satu aktivitas yang relatif aman dan tidak menjemukan adalah bertani atau bertanam tanaman hias. Begitu juga dengan adanya permintaan dari luar negeri (ekspor) terhadap komoditas ini, yang memungkinkan penerimaan petani atau pedagang lebih besar karena ada selisih nilai tukar mata uang kita.

Skenario Spekulan

Namun yang perlu diwaspadai, di balik mahalnya harga komoditas dengan lonjakan yang cepat biasanya ada spekulan yang menggoreng harga karena jumlahnya yang belum bisa memenuhi pasar. Para spekulan bisa saja berasal dari petani, pedagang, kolektor, atau siapapun yang bisa membuat skenario dan "bermain-main" dengan menciptakan produk baru untuk di-trendingtopic-kan.

Setelah trending dan menjadi rebutan masyarakat serta harga sudah di puncak, mereka pun segera melepaskan persediaan mereka ke pasaran dan mengambil keuntungan dari sana. Sesuai hukum permintaan dan penawaran, jika barang di pasaran melimpah, maka harganya akan menurun mengikuti mekanisme pasar.

Terkadang juga diciptakan pasar tersamar dengan membungkus produk dengan mitos-mitos yang membius atau cerita-cerita bombastis yang menggoda psikis (calon) konsumen. Termasuk juga dengan memberikan sebutan atau nama pasar yang baru yang tidak lazim atau tidak umum semacam Janda Bolong ini, sehingga bisa langsung terpatri di benak masyarakat.

Dalam beberapa tahun terakhir fenomena kenaikan harga komoditas tanaman hias seperti ini sudah berulang terjadi. Belum lekang ingatan kita ketika pada 2007 lalu, bunga Gelombang Cinta harganya juga melambung puluhan juta. Di kampung saya, ketika itu banyak yang memburunya. Beberapa petani bunga pun konsentrasi dan memberi perhatian lebih pada komoditas ini. Imbasnya memang luar biasa; gairah petani bunga semakin membuncah, meskipun kehidupan sosial masyarakat dibuat resah karena marak pencurian tanaman hias saat itu.

Selepas itu ada Anthurium jenmanii, Aglaonema, Adenium, Keladi Hitam, dan sebagainya yang bergantian menjadi trending topic dan harganya melangit. Masalahnya, seringkali fenomena ini tidak disadari oleh sebagian masyarakat kita. Masyarakat kita mudah terjebak dan terburu-buru menjadi "pemain baru", bertindak irasional, dan menjadi "tumbal" harga yang mahal.

Tidak ada masalah sebenarnya kalau memang itu memberikan nilai guna atau nilai ekonomi yang tinggi. Bagaimanapun, barang antik, barang unik, dan sebagainya seringkali tidak punya standar atau ukuran baku dalam pembentukan harganya.

Bijak Menyikapi

Lalu bagaimana kita menghadapi dan menyikapi fenomena ini? Semuanya tergantung dari diri kita sendiri. Mau ikutan dan optimis berbisnis silakan, merasa apatis dan sinis dengan fenomena ini, ya silakan saja. Namun demikian, jika kita ingin berbisnis dengan mengambil peluang dari lonjakan dan tren Janda Bolong ini, kita harus tetap bijak menyikapi, rasional, dan pandai membaca peluang. Jangan sampai terlalu bersemangat dan sekadar mengikuti tren bisa berimbas pada keuangan kita.

Dan, meskipun dicurigai sebagai permainan para spekulan belaka, bahkan monkey business, meroketnya harga Janda Bolong sebenarnya juga membawa peluang bisnis sekaligus bisa meredistribusi pendapatan. Menjadi peluang bisnis yang menggiurkan jika kita mampu memproduksi dan menjual dengan harga tinggi, apalagi kalau sampai bisa diekspor tentu nilai kursnya akan berlipat-lipat.

Sementara akan menjadi sarana redistribusi pendapatan jika yang membeli adalah orang-orang yang secara finansial sudah berkelimpahan dan sekaligus terhibur dengan "mainan" Janda Bolong ini. Lebih-lebih pada masa pandemi saat ini, orang-orang yang berkelimpahan sangat diperlukan aktivitas pengeluaran atau belanjanya, khususnya membeli produk-produk petani dalam negeri.

Kelompok masyarakat menengah dan atas yang ikut demam Janda Bolong, atau tanaman hias lain, tak perlu segan-segan "mengobati" demamnya dengan membeli produk petani ini. Tak perlu mereka mencari "obat demam" di luar negeri yang bisa menguras devisa kalau obatnya ada di dalam negeri.

Dengan demikian, setidaknya ada sedikit stimulan yang menggerakkan roda perekonomian yang sempat tersendat bahkan ngadat akibat virus Corona ini. Bagaimanapun, petani (bunga) juga memerlukan pembeli dan di sekitar petani bunga ada para pengrajin pot, pembuat kompos, pembuat media tanam dan sebagainya yang juga sangat tergantung dari aktivitas petani bunga. 

 

Artikel ini telah dimuat di Detik pada Kamis, 22 Oktober 2020 

https://news.detik.com/kolom/d-5223849/menyikapi-pesona-janda-bolong

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code