![]() |
Aktivitas menanam selama pandemi [Foto: antaranews] |
Pekarangan rumah yang dulu terabaikan, kini menjadi ruang produktif. Kita menggali tanah, menyemai biji, dan menunggu dengan sabar hingga tunas-tunas kecil muncul dari balik tanah. Ada yang mulai menanam cabai, tomat, kangkung, bayam, bahkan jahe dan kunyit yang dipercaya bisa meningkatkan daya tahan tubuh. Aktivitas menanam ini menjadi terapi tersendiri. Kita menemukan ketenangan dalam rutinitas menyiram dan melihat pertumbuhan perlahan dari tanaman.
Tak sedikit dari kita yang sebelumnya tak pernah bersentuhan dengan dunia pertanian. Pandemi membuat kita sadar akan pentingnya kemandirian pangan. Kita tak bisa terus bergantung pada pasokan pasar, apalagi saat pembatasan sosial membuat distribusi makanan terganggu. Dari situlah lahir kesadaran kolektif bahwa menanam adalah cara bertahan. Bukan hanya bertahan hidup secara fisik, tapi juga bertahan secara mental.
Media sosial dipenuhi foto-foto hasil kebun mini di rumah. Kita saling berbagi tips bercocok tanam, bertukar benih, dan saling menyemangati. Dalam keterbatasan dan ketakutan, tumbuh solidaritas baru. Kebun-kebun kecil menjadi simbol harapan yang tumbuh di tengah krisis. Di saat dunia terasa mengecil, tanaman memberi kita rasa kontrol dan kepastian.
Namun, tak semua berjalan mulus. Beberapa dari kita gagal panen, tanaman layu, atau bahkan mati sebelum tumbuh besar. Tapi dari situ kita belajar tentang kesabaran dan ketekunan. Kita belajar bahwa alam memiliki ritmenya sendiri, dan bahwa segala sesuatu butuh proses. Menanam tak bisa dipaksakan hasilnya—seperti juga kita tak bisa memaksakan pandemi segera berakhir.
Kegiatan menanam juga membuka mata kita akan betapa pentingnya peran petani. Di saat semua orang diimbau tinggal di rumah, petani tetap bekerja di ladang. Mereka adalah ujung tombak ketahanan pangan bangsa. Kita mulai menyadari bahwa makanan tak serta-merta hadir di meja makan tanpa proses panjang di baliknya. Penghargaan terhadap petani pun tumbuh, seiring dengan kesadaran akan pentingnya produksi pangan lokal.
Menanam harapan di masa awal COVID-19 bukan sekadar menumbuhkan tanaman. Ia adalah cara kita melawan rasa takut dan ketidakpastian. Ia adalah bentuk kecil dari perlawanan terhadap pandemi—perlawanan yang hening, tapi bermakna. Dari sekecil-kecilnya pot hingga sebidang lahan pekarangan, kita menemukan kembali hubungan kita dengan alam, dengan tanah, dan dengan kehidupan itu sendiri.
Kini, meskipun pandemi telah banyak berubah bentuk dan tantangan, benih-benih harapan yang kita tanam di awal krisis tetap berakar. Banyak dari kita yang tetap melanjutkan kebiasaan bercocok tanam, bukan karena keterpaksaan, tapi karena telah menemukan makna baru dalam kegiatan sederhana itu. Kita telah belajar bahwa menanam bukan sekadar aktivitas, tapi juga simbol harapan, kesabaran, dan keberanian untuk terus hidup, apa pun yang terjadi.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!