Eksternalitas bisa bersifat positif ataupun negatif. Contohnya, ketika kita menanam pohon rindang di halaman rumah, tetangga mungkin ikut menikmati kesejukan dan udara bersihnya. Itu eksternalitas positif. Sebaliknya, jika kita membakar sampah dan asapnya mengganggu orang lain, maka itu termasuk eksternalitas negatif. Kedua dampak ini terjadi di luar mekanisme pasar, artinya tidak ada proses tawar-menawar atau ganti rugi yang mengiringinya.
Dampak dari eksternalitas tidak selalu disadari langsung. Bayangkan suara gonggongan anjing tengah malam atau suara televisi keras dari rumah tetangga—kita terganggu, tapi sulit meminta pertanggungjawaban. Di sisi lain, ketika ada perusahaan teknologi yang mengembangkan inovasi baru dan kita mendapat manfaat dari produk yang dihasilkan, kita juga merasakan eksternalitas positif.
Masalah utama dari eksternalitas adalah munculnya inefisiensi. Dalam bahasa (ekonomi) sederhana, sumber daya tidak digunakan secara optimal. Polusi dari pabrik, misalnya, menimbulkan biaya kesehatan dan kerusakan lingkungan yang tidak tercermin dalam harga barang. Akibatnya, produk menjadi lebih murah dari seharusnya, konsumsi berlebih terjadi, dan kita semua menanggung akibatnya dalam bentuk udara kotor, banjir, atau penyakit.
Eksternalitas juga bisa terjadi antara produsen dengan produsen lain, misalnya pencemaran sungai oleh pabrik hulu yang merugikan pabrik hilir. Atau antara produsen dan konsumen seperti polusi udara dari kendaraan bermotor. Bahkan antar konsumen pun bisa saling berdampak, seperti perokok pasif yang dirugikan oleh kebiasaan merokok orang di sekitarnya. Yang tak kalah penting, eksternalitas juga bisa datang dari konsumen kepada produsen, contohnya limbah rumah tangga yang merusak usaha perikanan.
Lalu, bagaimana cara mengatasi eksternalitas? Pemerintah memiliki peran kunci. Dengan regulasi, seperti membatasi jumlah emisi atau melarang kegiatan tertentu, kita bisa menekan eksternalitas negatif. Pemerintah juga bisa mengenakan pajak Pigovian, yaitu pajak khusus pada kegiatan yang merugikan pihak lain. Sebaliknya, untuk eksternalitas positif, seperti penelitian dan vaksinasi, bisa diberikan subsidi.
Namun, regulasi dan pajak bukan satu-satunya cara. Solusi dari sektor swasta juga mulai digalakkan, seperti tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang mencoba memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan. Kita juga mengenal mekanisme kompensasi melalui kesepakatan, misalnya tetangga yang memberi ganti rugi atas suara bising renovasi rumahnya.
Menariknya, penyelesaian eksternalitas tak selalu formal. Norma sosial dan pendekatan moral juga bisa menjadi alat ampuh. Kalimat sederhana seperti “perlakukan orang lain seperti kamu ingin diperlakukan” ternyata bisa mengurangi konflik eksternalitas di lingkungan kita. Ini adalah bentuk pengendalian sosial nonformal yang tetap efektif, terutama dalam masyarakat yang saling mengenal dan hidup berdampingan erat.
Pelajaran penting dari konsep eksternalitas adalah bahwa tidak semua biaya atau keuntungan dari suatu tindakan tercermin dalam harga. Di sinilah adalanya kegagalan pasar, dan peran pemerintah serta kesadaran kolektif menjadi penting. Pembangunan pun tidak cukup hanya dihitung dari nilai investasi, tapi juga dari seberapa besar dampak eksternal yang ditimbulkan dan bagaimana kita menanganinya.
Kita sebagai warga negara memiliki peran. Kesadaran akan dampak tindakan kita terhadap sekitar bisa menjadi langkah awal. Mengurangi polusi, menjaga ketenangan lingkungan, atau bahkan sekadar tidak membuang sampah sembarangan sudah termasuk bagian dari mengurangi eksternalitas negatif. Maka, mari kita mulai bertanya dalam setiap keputusan: apakah ini hanya berdampak pada kita, atau juga pada mereka yang hidup di sekitar kita?
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!