![]() |
Kampung Adat Segunung, Desa Carangwulung [Foto: tribunnews.com] |
SETIAP desa menyimpan cerita asal-usulnya sendiri, demikian pula Desa Carangwulung yang terletak di Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang. Nama Carangwulung tidak hadir begitu saja, melainkan lahir dari kisah panjang yang bercampur antara mitos, sejarah, perjuangan dan realita.
Konon, pada masa Raja Pakubuwono X dari Kerajaan Mataram, beliau memiliki lima putra laki-laki. Dalam kepercayaan Jawa lama, lima anak lelaki—ibarat tokoh Pandawa dalam dunia pewayangan—wajib menjalani masa pengasingan. Ritual ini disebut njajah desa milang kori, yakni mengembara dari satu desa ke desa lain untuk menempa diri, mencari kekuatan batin, serta menambah kesaktian sebelum kelak kembali ke kerajaan.
Kelima putra itu dikenal dengan sebutan Pendowo Limo. Mereka adalah Pangeran Jimat, Pangeran Benowo, Pangeran Wonosegoro atau Senari, Pangeran Palang Segoro, dan Pangeran Talang Joyo. Dengan semangat muda, mereka menempuh perjalanan ke arah timur. Jalan yang ditempuh tentu tidak mudah. Rintangan dan pengalaman pahit justru menjadi bagian berharga dari perjalanan itu.
Atas usulan Pangeran Jimat, sang sulung, mereka kemudian berpencar untuk bertapa di tempat yang berbeda. Pangeran Jimat memilih menetap di sekitar Desa Jarak, Pangeran Benowo singgah di Wonomerto, sementara Pangeran Wonosegoro bersemedi di Gunung Kuncung, Wonosalam. Adapun dua adiknya, Palang Segoro dan Talang Joyo, berjalan lebih jauh hingga mencapai hutan bambu yang rapat di sisi timur. Keduanya sering dianggap sebagai perwujudan Nakula dan Sadewa dalam versi pewayangan Jawa.
Walau raga mereka berpisah, ikatan batin dan kekuatan spiritual tetap menyatukan kelimanya. Bahkan, mereka diyakini masih dapat berhubungan dengan ayah mereka di Mataram. Hingga pada suatu ketika, perang besar pecah antara Mataram dan Pajang, yang juga menyeret kekuatan Bali. Rakyat yang ketakutan berhamburan mencari perlindungan. Seperti ayam kehilangan induk, banyak di antara mereka yang akhirnya sampai ke tempat para pangeran. Ada yang bertemu dengan Pangeran Jimat, ada pula yang bernaung pada Pangeran Benowo, Wonosegoro, Palang Segoro, dan Talang Joyo.
Para pengungsi ini tidak lagi membedakan siapa kawan atau lawan. Yang penting adalah keselamatan, rasa senasib, dan kebutuhan untuk berlindung. Mereka pun mengabdi kepada para pangeran yang dianggap sakti dan bijaksana. Di bawah bimbingan para petapa muda itu, masyarakat merasa tenteram, seolah menemukan rumah baru di tengah kekacauan perang.
Dalam sebuah musyawarah di Gunung Kuncung, para pangeran sepakat untuk menetap dan mendidik pengikutnya masing-masing. Sepulang dari pertemuan itu, Palang Segoro dan Talang Joyo mendengar jeritan minta tolong—tulung, tulung, tulung! Mereka bergegas mencari sumber suara dan menemukan seorang pelarian yang terjerat ranting bambu hitam, atau bambu wulung. Setelah ditolong, Palang Segoro pun berkata lirih namun penuh makna: “Yen ono rejane zaman, panggonan iki tak jenengake Carangwulung.” Sejak saat itu, nama Carangwulung melekat. Carang berarti ranting bambu, sedangkan wulung merujuk pada bambu hitam sekaligus gema teriakan tulung. Nama ini bukanlah sekadar sebutan, melainkan penanda bahwa desa ini lahir sebagai tempat perlindungan.
Memasuki masa kolonial Belanda, wilayah Carangwulung beralih menjadi bagian dari perkebunan kopi yang luas. Sejak 1850-an sebagai wilayah pengembangan ondernemin atau perkebunan kopi yang menjadi bagian dari wilayah Onderdistrict Kasembon, District Ngantang, Regentschap Malang. Jejak peninggalan kolonial masih terlihat hingga kini, yaitu jalan yang menghubungkan Dusun Ngeseng hingga Dusun Ngogor Desa Wonosalam, pabrik pengolahan kopi di Dusung Segunung, dan tempat pengeringan biji kopi di Dusun Ngeseng. Semua itu menjadi bukti bahwa sejak dulu tanah Carangwulung subur untuk tanaman kopi, dan hasilnya pernah masuk dalam rantai perdagangan kolonial.
Sampai saat ini, Desa Carangwulung terbagi menjadi enam dusun, yakni Gentaru (yang kini disebut Carangwulung), Gonggo (sekarang Gondang), Sumber Agung (kini Dusun Ngeseng), Segunung, Mbanyon (kini Banyon), dan Bangunrejo. Setiap dusun dipimpin seorang kepala dusun, dan secara keseluruhan dipayungi oleh seorang kepala desa. Sistem pemerintahan sederhana ini kemudian berkembang seiring dengan perjalanan waktu. Kepemimpinan desa pun silih berganti. Dari masa ke masa, setiap kepala desa meninggalkan jejak pembangunan yang berbeda.
Itulah sejarah Desa Carangwulung yang merupakan perpaduan antara mitos dan kenyataan, dari jejak lima pangeran, sampai perkebunan kopi yang saat ini masih menjadi "prasasti" dan saksi sejarah masa lalu.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!