Secara sederhana, digital marketing adalah upaya pemasaran produk atau jasa dengan memanfaatkan teknologi digital dan internet. Menurut data We Are Social (2024), pengguna internet di Indonesia telah mencapai 224,5 juta orang, dengan 167 juta di antaranya aktif di media sosial. Angka ini menunjukkan betapa besar peluang digital marketing untuk menjangkau konsumen. Jika kita bandingkan dengan cara lama, digital marketing lebih murah, lebih cepat, dan lebih tepat sasaran. Misalnya, iklan di Google atau Facebook dapat diarahkan khusus ke orang-orang yang memang memiliki minat pada pertanian organik atau produk lokal, bukan sekadar menyebar tanpa arah.
Tren global menunjukkan bahwa digital marketing terus berkembang ke arah personalisasi. Konsumen ingin merasakan bahwa produk yang dipasarkan relevan dengan kebutuhan mereka. Artificial Intelligence (AI) kini digunakan untuk menganalisis perilaku konsumen, lalu memberikan rekomendasi produk yang sesuai. Contoh yang sederhana adalah ketika kita mencari bibit cabai di marketplace, maka dalam hitungan menit kita akan melihat rekomendasi pupuk, alat semprot, hingga kursus pertanian online di halaman beranda kita. Semua itu adalah hasil dari strategi digital marketing berbasis data.
Di tingkat lokal, tren ini juga sangat terasa. UMKM pertanian di Indonesia kini makin aktif memanfaatkan media sosial. Kita bisa lihat bagaimana petani milenial di Jawa Barat menggunakan TikTok untuk menjual sayuran hidroponik, lengkap dengan video cara panennya. Menurut laporan Tokopedia 2024 Future of Commerce, kategori produk pertanian dan makanan lokal menjadi salah satu yang paling berkembang, didorong oleh meningkatnya kesadaran konsumen akan kesehatan dan produk segar. Bahkan, e-commerce besar seperti Shopee dan Tokopedia kini menyediakan fitur khusus untuk produk hasil tani, sehingga petani dapat menjual langsung ke konsumen tanpa perantara panjang.
Mengapa kita perlu memahami digital marketing? Karena tanpa itu, kita akan tertinggal. Persaingan produk pertanian semakin ketat. Jika dulu cukup membawa hasil panen ke pasar, kini produk harus dipasarkan dengan cerita yang menarik. Konsumen ingin tahu asal usul produk, cara menanamnya, dan bahkan siapa petaninya. Digital marketing memungkinkan kita membangun storytelling yang kuat. Misalnya, seorang petani kopi di Wonosalam Jombang dapat membuat konten Instagram yang menceritakan bagaimana kopi ditanam secara organik di lereng gunung, sehingga konsumen merasa lebih dekat dengan produk tersebut.
Data terbaru dari Google Southeast Asia e-Conomy Report 2023 menunjukkan bahwa ekonomi digital Indonesia telah mencapai nilai USD 82 miliar, dan diproyeksikan terus tumbuh hingga USD 109 miliar pada 2025. Dari angka ini, e-commerce menjadi penyumbang terbesar. Ini berarti, peluang produk pertanian kita untuk masuk ke pasar digital semakin terbuka lebar. Namun, peluang ini hanya bisa kita raih jika kita melek digital marketing.
Selain itu, media sosial kini menjadi “pasar” baru bagi produk pertanian. TikTok Shop, meski sempat dibatasi, kini kembali hadir dengan regulasi baru. Platform ini terbukti efektif menjual produk langsung dengan pendekatan live selling. Contohnya, penjual buah naga di suatu tempat bisa menyiarkan langsung panennya sambil menjual buah secara real-time kepada konsumen yang menonton. Interaksi ini memberi pengalaman baru bagi konsumen sekaligus meningkatkan kepercayaan.
Namun, tentu ada tantangan. Digital marketing memerlukan pengetahuan dasar tentang teknologi, strategi komunikasi, serta kemampuan beradaptasi dengan tren. Banyak petani kita yang masih kesulitan mengakses teknologi, baik karena keterbatasan infrastruktur maupun keterampilan digital. Di sinilah pentingnya peran pendidikan dan pendampingan. Perguruan tinggi, komunitas petani, maupun pemerintah harus ikut mendorong literasi digital agar para pelaku usaha tani tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga aktor utama dalam ekonomi digital.
Jika kita melihat tren global, pemasaran digital kini tidak hanya berfokus pada penjualan, tetapi juga keberlanjutan (sustainability). Konsumen dunia semakin peduli pada isu lingkungan. Mereka ingin tahu apakah produk yang mereka beli ramah lingkungan, apakah petani mendapat harga yang adil, dan bagaimana dampaknya terhadap komunitas lokal. Di Indonesia, tren ini mulai terlihat pada meningkatnya permintaan produk organik dan fair trade. Digital marketing memberi ruang untuk mengomunikasikan nilai-nilai tersebut secara lebih luas.
Maka dari itu, memahami digital marketing bukan hanya soal mengikuti tren, tetapi soal bertahan hidup dan berkembang di era modern. Jika kita ingin produk pertanian Indonesia tidak hanya bersaing di pasar lokal, tetapi juga menembus pasar global, maka digital marketing adalah kuncinya. Dengan strategi yang tepat, kita bisa menjual beras organik dari pelosok desa ke konsumen di mancanegara, atau memasarkan kopi Wonosalam ke penikmat kopi di belahan lain bumi ini. Semua itu mungkin, asalkan kita mau belajar dan memanfaatkan teknologi.
Kita tidak bisa lagi menganggap digital marketing sebagai sesuatu yang jauh dari dunia pertanian. Justru sebaliknya, ini adalah peluang emas bagi kita untuk mengangkat martabat pertanian Indonesia. Dengan populasi muda yang akrab dengan teknologi, potensi kita sangat besar. Bayangkan jika setiap petani milenial mampu mengelola akun media sosialnya, membuat konten kreatif, dan memasarkan produknya secara digital. Kita tidak hanya akan meningkatkan penjualan, tetapi juga membangun citra baru pertanian yang modern, keren, dan berdaya saing global.
0 Komentar
Thanks for your visiting and comments!